Februari 28, 2017
[Philanthropy Learning Forum] Perlindungan dan Kesejahteraan Bagi Pegiat Filantropi dan Volunter
Pada Kamis, 23 Februari yang lalu, Filantropi Indonesia (FI) kembali mengadakan Philanthropy Learning Forum ke-14 yang dilaksanakan di Creative Stage, SMESCO, Jakarta. Pada kesempatan ini, FI melaksanakan PLF dengan menggandeng BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK) yang adalah salah satu mitra utama dalam pencapaian SDGs. Tema yang diangkat dalam forum diskusi kali ini adalah isu yang sangat penting namun seringkali terabaikan oleh organisasi sosial maupun pemberi kerja di bidang nirlaba. Karena itu narasumber yang didatangkan adalah mereka yang berperan aktif di dunia kerelawanan, aktivis HAM, serta perwakilan dari BPJS TK yang hadir untuk memberikan solusi. Mereka adalah Maria Anik Wusari, Direktur Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan; Marsya Anggia, Direktur Indorelawan; dan Subhan, Kepala Bidang Pemasaran BPJS TK Pusat.
Pekerjaan yang dilakukan para pekerja dan relawan organisasi filantropi/nirlaba tergolong pekerjaan yang rentan dan memiliki resiko yang besar. Sayangnya, para pegiat filantropi dan volunter yang mengalami kecelakaan kerja atau meninggal hanya mendapatkan santunan dalam jumlah yang tidak memadai. Menurut Anik, jaminan keselamatan dan kesejahteraan para pegiat filantropi /nirlaba dan volunter itu sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan kita: dalam UU 13/2003, Undang-Undang nomor 1/1970, UU 3/1992, Peraturan Pemerintah nomor 14/1993, Keputusan Presiden nomor 22/1993, Peraturan Menteri No 1/1998 serta Peraturan Menteri nomor 4/1993. Dalam pemaparannya Anik juga menekankan bahwa para penyitas HAM dan pekerja kemanusiaan butuh diberi kemudahan akses seperti kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja serta kematian, pelayanan psikososial, serta penggunaan sistem rujukan untuk mendukung mereka.
Sedangkan Marsya dari Indorelawan membagikan pengalaman serta pelajaran mengenai pentingnya perlindungan tersebut. Pada awalnya Indorelawan hanya fokus untuk mengajak sebanyak mungkin masyarakat untuk menjadi relawan, namun setelah bekerja sama dengan suatu sekolah internasional, mereka mulai memikirkan tanggung jawab untuk keselamatan para volunter (yang adalah siswa/i) yang turun langsung ke lapangan. Marsya juga mengkhawatirkan ormas dan komunitas yang tidak berbadan hukum namun memiliki banyak volunter dalam melaksanakan kegiatannya.
Subhan, perwakilan dari BPJS TK kemudian memberikan informasi mengenai program GN Lingkaran dan berbagai bentuk perlindungan dan jaminan yang bisa didapati para pegiat filantropi dan volunter. Akhirnya selama diskusi tanya jawab, banyak peserta yang aktif bertanya kepada Subhan mengenai berbagai hal – mulai dari hal teknis sampai masukan untuk perbaikan. Seperti misalnya ada pertanyaan mengenai perlindungan volunter yang hanya direkrut untuk kegiatan sosial selama satu hari; dan ternyata mereka tetap bisa dilindungi dengan membayar iuran BPJS TK untuk sebulan yang biayanya Rp 16.800,- (sudah termasuk perlindungan kecelakaan kerja dan kematian).
Pada dasarnya, semua setuju bahwa perlindungan dan jaminan itu diperlukan dan wajib hukumnya karena diatur dalam UU. Namun berbagai hal seperti kemudahan untuk bergabung, akses untuk registrasi, proses pendaftaran, informasi yang terbatas, serta pemahaman masyarakat yang kurang membuat banyaknya kasus di mana pegiat filantropi maupun relawan tidak dapat menikmati fasilitas ini. Hamid Abidin selaku Direktur FI, pada akhir diskusi mengusulkan adanya pilot project antara Indorelawan dan BPJS TK untuk membuat skema ideal bagi organisasi masyarakat maupun komunitas sosial agar dapat melindungi mereka yang sudah memberikan diri untuk membantu sesama.