Oktober 17, 2016
[Philanthropy Learning Forum] Filantropi Sebagai Sumber Pendanaan Riset di Indonesia
Philanthropy Learning Forum 10 diselenggarakan pada hari Kamis, 25 Agustus 2016 di kantor Tahija Foundation, Grha Irama, Kuningan, Jakarta. Philanthropy Learning Forum kali ini sekaligus menjadi acara diseminasi publik terkait studi ‘Pemetaan Filantropi Pendukung Riset’ yang dilakukan oleh PIRAC. PIRAC merupakan organisasi nirlaba yang fokus pada penelitian, pelatihan, advokasi, dan penyebaran informasi di bidang filantropi dan penguatan organisasi masyarakat sipil di Indonesia.
Acara dibuka dengan pembukaan dari tuan rumah, Bapak Anastasius Wahyuhadi, selaku ketua Yayasan Tahija. Dalam sambutannya, Bapak Wahyuhadi menyambut baik diskusi yang mengangkat tema ‘Filantropi Sebagai Sumber Pendanaan Riset di Indonesia’ seperti yang sudah dilakukan Yayasan Tahija selama ini. Menurut Bapak Wahyuhadi, masyarakat sering berpikir bahwa dengan adanya dana, semuanya menjadi mudah. Sayangnya, tidak demikian. Uang bukanlah sebuah jaminan.
Masalah yang muncul dalam riset berbasis filantropi adalah masalah non-teknis, seperti, pemilihan mitra riset yang saling mendukung dan proses identifikasi aktor utama yang tepat dalam sebuah riset. Dukungan pelaksanaan riset sangat dibutuhkan untuk memahami kendala yang dihadapi. Sehingga dalam riset berbasis filantropi, kita tidak sekadar mengelola dana riset yang diterima, tetapi juga mengelola efektivitas program.
Selain Bapak Wahyuhadi, Ibu Dias dari Knowledge Sector Initiative (KSI) juga memberikan sambutan. KSI merupakan sebuah prakarsa dari pemerintah Indonesia dan Australia untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Indonesia melalui penerapan kebijakan publik. KSI menilai bahwa masalah utama yang dihadapi riset di Indonesia adalah bagaimana riset yang dilakukan bisa bermanfaat dan menerjemahkan hasil riset tersebut untuk kepentingan masyarakat.
Riset di Indonesia masih harus dikembangkan lebih lanjut karena masih banyak potensi yang belum tergali. Dalam pendanaan riset, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan pendanaan riset di negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. 80% pendanaan riset di Indonesia masih diberikan oleh pemerintah. Pihak swasta baru berkontribusi sebesar 20%. Sedangkan di negara lain, pihak swasta lebih banyak berkontribusi dalam pendanaan riset.
Selanjutnya Bapak Timotheus Lesmana, selaku Ketua Badan Pengurus Filantropi Indonesia, juga memberikan sambutan. Menurutnya, dana riset di Indonesia masih sangat minim dan di sinilah, filantropi berperan. Filantropi Indonesia melakukan kategorisasi yang terdiri dari yayasan keluarga, yayasan perusahaan, yayasan berbasis agama, yayasan media massa, dan menemukan ranah dalam bidang pendanaan riset. Bpk Timo berharap melalui riset berbasis filantropi maka filantropis akan terbuka matanya untuk bisa berkontribusi, khususnya pendanaan riset.
Ibu Nor Hiqmah, Peneliti PIRAC: ‘Diseminasi Pemetaan Lembaga Filantropi Pendukung Riset di Indonesia’
Selama kurun waktu tiga bulan, PIRAC melakukan kajian terhadap 150 lembaga filantropi yang ada di Indonesia. Tujuannya adalah melakukan identifikasi lembaga filantropi untuk mendukung kegiatan riset di Indonesia. Metode yang digunkan adalah kajian pustaka, diskusi (Focus Group Discussion), dan in-depth interview.
Dari hasil kajian yang dilakukan oleh PIRAC, diperoleh kesimpulan bahwa kondisi riset di Indonesia masih memprihatinkan, khususnya terkait pendanaan riset yang kurang memadai. Selain itu, belum ada akses informasi terkait lembaga filantropi yang melakukan pendanaan riset.
Melalui studi ini juga diperoleh fakta bahwa dana filantropi perusahaan adalah Rp 12,45 triliun per tahun. Dana CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan juga meningkat dari tahun 2013 ke 2014. Namun kecenderungan yang terjadi adalah beberapa lembaga hanya bersedia mendukung apabila riset tersebut terkait isu sosial, pengembangan teknologi, visi misi lembaga, serta atas kebutuhan organisasi.
Bapak Muh. Dimyati, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Filantropi pernah berjaya di Indonesia pada masanya. Lambat laun, peran riset dalam pembangunan nasional mulai melemah. Para filantropis kemudian mulai terjun ke pendanaan riset, misalnya upaya pencarian vaksin malaria yang dilakukan oleh Bill & Melinda Gates Foundation, Tahir Foundation, Yayasan Tahija, dan lain-lain.
Riset kemanusiaan seperti ini melibatkan masyarakat sehingga dirasa lebih bermanfaat. Ke depan, Bpk. Dimyati berharap agar para filantrop juga memberi perhatian dan pendanaan untuk isu-isu yang kurang ‘dilirik’.
Bapak Agus Susanto, Yayasan Tahija: ‘Praktik dan Dinamika Dukungan Filantropi untuk Kegiatan Riset’
Yayasan Tahija berdiri sejak Maret 1990. Sejak tahun 2004, Tahija Foundation, bekerja sama untuk melakukan pendanaan penelitian dan pilot project untuk solusi permasalahan demam berdarah dengan berbagai lembaga akademis, seperti Fakultas Kedokteran UGM dan Monash University.
Dr. Wijaya Lukito, Yayasan Danone Institut
Yayasan Danone Institut ada di berbagai negara dengan sumber pendanaan berbeda-beda, salah satunya CSR dari Danone Pusat. Pendanaan riset di Yayasan Danone Institut diperoleh dari business unit Danone.
Dr. Wijaya juga menjelaskan tantangan dalam filantropi berbasis riset yang adalah: (1) Resource alignment, (2) Evidence based policy development, (3) National development road map in food, nutrition, and health, serta (4) Incentive and benefit.
Dra. Ida Ruwaida, LabSosio Universitas Indonesia
Dra. Ida memberikan presentasi mengenai rasionalisasi riset: (1) Nilai akademis: Riset selalu memiliki korelasi di bidang akademis, (2) Nilai ekonomis: Kompetisi di antara staf pengajar sangat tinggi, pun antar lembaga dalam satu institusi, (3) Nilai sosial: Labsosio, melakuka riset atas permintaan perusahaan lalu didiseminasikan ke masyarakat, dan (4) Nilai politis: ada kepentingan tertentu, misalnya dalam penelitian padi, satu varietas lebih diunggulkan daripada varietas yang lain.
Dari rasionalisasi tersebut, terungkap bawah riset bukan lagi dikerjakan untuk riset, melainkan untuk berbagai kepentingan, misalnya riset untuk perubahan, pembangunan, maupun kebijakan.
Dra. Ida mengatakan bahwa lembaga filantropi harus lebih selektif dalam melakukan pendanaan riset. Banyak riset yang hanya menjadi replika dan berulang-ulang, sehingga banyak uang yang terbuang di sana. Riset yang ideal adalah riset yang fokus, berkesinambungan, dan berdampak pada masyarakat.