Oktober 9, 2016
[Philanthropy Learning Forum] Filantropi Perempuan Belum Tergalang Optimal
Kaum perempuan belum dilihat sebagai donatur dan pendukung potensial untuk program sosial kemanusiaan. Padahal, kaum perempuan dengan beragam potensi yang dimilikinya bisa digerakkan untuk menjadi donatur, volunteer, campaigner, atau bahkan fundraiser bagi lembaga-lembaga sosial dan nirlaba. Filantropi kaum perempuan ini berpotensi untuk digalang guna mengatasi berbagai persoalan sosial di Indonesia, khususnya persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan.
Besarnya potensi filantropi kaum perempuan ini tergambar dari paparan para pembicara PHILANTHROPY LEARNING FORUM 6 dengan tema “Filantropi untuk Pemberdayaan Perempuan: Potensi, Tantangan dan Strategi Penggalangannya” yang digelar Filantropi Indonesia di Jakarta (28/4/2016). Forum yang dihadiri oleh para pegiat filantropi tersebut menghadirkan 4 pembicara dari kalangan kaum perempuan yang mengembangkan kegiatan filantropi dan melibatkan kaum perempuan sebagai donatur dan pendukungnya. Mereka adalah Maria Anik Wusari (Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan), Ressa Ria Lestari (Co-Founder Samahita Bandung), Indira Abidin (Chief Happiness Officer PT Fortune Indonesia Tbk yang juga dikenal sebagai penyintas dan pegiat kampanye kanker) dan Anantya van Bronckhorst (Managing Director Girls in Tech)
Co-Chair Badan Pengarah Filantropi Indonesia, Erna Witoelar, menyatakan bahwa pengembangan filantropi di Indonesia belum banyak melibatkan kaum perempuan dalam kegiatan kedermawanan. Kurangnya perhatian terhadap potensi perempuan dalam kegiatan filantropi ini dikarenakan adanya asumsi bahwa perempuan tidak memiliki harta atau penghasilan sebesar laki-laki.
Indira Abidin presentasi
Perempuan tidak dianggap sebagai donatur yang prospektif karena donasi perempuan dinilai lebih kecil dari laki-laki. Perempuan juga dinilai tak punya kekuasaan dalam pengambilan keputusan menyumbang karena pemberi nafkah dalam keluarga adalah sebagian besar laki-laki yang juga berperan sebagai kepala keluarga.
Namun, menurut Erna Witoelar, asumsi-asumsi itu tak sepenuhnya benar. Kaum perempuan saat ini muncul sebagai pendukung dan donatur bagi program-program sosial, khususnya program yang berkaitan dengan isu perempuan. Mereka secara mandiri bisa menjadi donatur karena banyak perempuan yang sudah punya penghasilan sendiri seiring meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja di sektor publik maupun swasta atau mengelola usaha sendiri. Jumlah sumbangan yang diberikan kaum perempuan juga setara dengan kaum laki-laki. Laporan CAF World Giving Index 2015 menyebutkan bahwa sumbangan perempuan dalam bentuk dana maupun in-kind tak jauh berbeda dengan jumlah sumbangan laki-laki. Sementara laporan survei PIRAC (Public Interest Research Advocacy Center) pada 2007 menyebut tingkat kedermawanan (rate of giving) perempuan yang sangat tinggi (99,7%) dengan jumlah rata-rata sumbangan Rp 287.242/orang/tahun. Tingkat kedermawanan perempuan tersebut lebih tinggi dari laki-laki (99,5%), meskipun jumlah sumbangannya lebih rendah dari kaum laki-laki yang nilainya Rp 360.736/orang/tahun.
Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, menambahkan bahwa meningkatnya jumlah kaum perempuan yang menduduki posisi strategis di berbagai perusahaan dan lembaga pemerintahan juga menjadikan mereka sebagai donatur potensial karena memiliki pengaruh dan penghasilan yang tinggi. Studi lembaga konsultan bisnis Grant Thornton 2016 menunjukkan bahwa jumlah wanita karir Indonesia yang menduduki posisi penting di sebuah perusahaan menempati urutan keenam di dunia. Studi tersebut menyebutkan 36% posisi top manajer di perusahaan dipegang oleh perempuan. Selain itu, beberapa studi menyebutkan bahwa perempuan juga berpotensi untuk menjadi volunteer, campaigner, atau fundraiserhandal yang bisa menghasilkan dukungan dan sumber daya dalam jumlah besar bagi organisasi sosial.
Data dan kecenderungan di atas memperlihatkan bahwa filantropi kaum perempuan potensial untuk dikembangkan, khususnya dalam upaya mengatasi masalah yang dihadapi kaum perempuan sendiri. Karena itu perlu dikembangkan kesadaran di kalangan kaum perempuan mengenai masalah yang dihadapi kaumnya agar mereka memiliki preferensi untuk menyumbang program-program yang bertujuan mengatasi persoalan tersebut. Sementara organisasi sosial yang prihatin terhadap pemberdayaan perempuan dituntut untuk mengemas dan mengkomunikasikan program-programnya secara kreatif dan inovatif. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi informasi, agar bisa membuat mereka tertarik untuk menyumbang program-program yang ditawarkan. Kerena, selain faktor pemahaman dan kesadaran, keinginan responden untuk menyumbang lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni ajakan untuk menyumbang dan ketertarikan terhadap program yang ditawarkan, serta kepercayaan terhadap kredibilitas organisasi peminta sumbangan.
Peserta PLF 6