Oktober 9, 2016
[Philanthropy Learning Forum] Filantropi Diaspora Indonesia Berpotensi Mendukung SDGs
Jumlah diaspora Indonesia di luar negeri cukup besar dan memiliki potensi sumberdaya yang luar biasa. Salah satu potensi yang bisa digerakkan adalah filantropi atau dukungan mereka dalam bentuk dana, pemikiran, keahlian, jaringan, dan sumber daya lainnya. Sayangnya, potensi filantropi diaspora Indonesia ini belum digalang dan didayagunakan secara optimal. Padahal, potensi filantropi para diaspora Indonesia ini bisa menjadi sumber daya alternatif bagi pembangunan nasional, khususnya dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG (Sustainable Development Goals).
Hal ini tergambar dari paparan para pembicara Philanthropy Learning Forum 7 dengan tema “Filantropi Diaspora: Potensi, Tantangan dan Strategi Mobilisasinya” yang digelar Filantropi Indonesia bekerja sama dengan UNDP di Jakarta (31/5/2016). Forum ini dihadiri oleh para pegiat filantropi dan menghadirkan 4 pembicara yang terlibat dan bergiat dalam pengembangan diaspora dan filantropi. Mereka adalah Dino Patti Djalal (Pendiri Indonesia Diaspora Network), Tangkuman Alexander (Wakil Direktur Diplomasi Publik, Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri), Reky Martha Groendal (Co-Founder Hoshizora Foundation), dan H. Zarkasih Nurdin (Ketua Umum Sulit Air Sepakat).
Christophe Bahuet, Country Director UNDP Indonesia memberikan kata sambutan
Diaspora Indonesia adalah orang-orang Indonesia yang menetap di luar Indonesia. Istilah ini berlaku bagi orang-orang yang lahir di Indonesia dan berdarah Indonesia yang menjadi warga negara asing ataupun menetap sementara di negara asing untuk kepentingan belajar, bekerja atau tujuan lainnya. Data Indonesia Diaspora Network menunjukkan bahwa jumlah diaspora Indonesia di luar negeri mencapai 8 juta dan 4,6 juta diantaranya masih berstatus WNI. Jutaan orang diaspora Indonesia ini diwadahi oleh berbagai organisasi atau perkumpulan yang sebagian besar masih dibatasi oleh sekat-sekat suku, agama, maupun profesi. Kaum diaspora bisa menjadi aset bangsa yang potensial karena mereka ditempa dalam iklim kompetisi global dan sebagian memiliki status sosial dan ekonomi yang sudah mapan.
Franciscus Welirang, Ketua Badan Pengarah Filantropi Indonesia, menyatakan bahwa selain filantropi diaspora global atau manca negara, “filantropi diaspora lokal” juga layak untuk digerakkan karena berkembang luas dan banyak dipraktekkan di berbagai suku atau daerah di Indonesia yang punya tradisi merantau, seperti suku Minang, Batak, Bugis, Madura, dan sebagainya. Kedermawanan perantau lokal ini umumnya diwujudkan dengan pemberian sumbangan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk bantuan lainnya oleh warga yang merantau di kota-kota besar untuk pembangunan daerah kelahirannya.
Franciscus menilai filantropi para perantau global maupun lokal ini berpotensi menjadi sumber pembiayaan alternatif bagi pembangunan nasional. Sayangnya, kepedulian dan kedermawanan para diaspora ini tidak diimbangi dengan upaya penggalangan dan pendayagunaan sumbangan mereka secara optimal. Belum banyak organisasi sosial yang berupaya secara serius dan profesional memobilisasi dukungan dari para diaspora lokal maupun global. Dalam hal pendayagunaan, sumbangan para perantau ini sebagian besar masih dimanfaatkan untuk keperluan konsumtif dan karitatif.
Franciscus menambahkan, tidak optimalnya mobilisasi filantropi dari perantau juga dikarenakan belum tersedianya kebijakan pemerintah yang kondusif dalam bentuk kemudahan, fasilitasi maupun insentif perpajakan. Dibandingkan Filipina dan India, pemerintah Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan peran dan kontribusi dari para diaspora, khususnya kontribusi dalam bentuk filantropi. Pemerintah dinilai belum optimal dalam melahirkan kebijakan-kebijakan untuk pengembangan peran diaspora Indonesia serta memfasilitasi kontribusi mereka untuk pembangunan tanah airnya.
Peserta PLF 7
Pentingnya upaya untuk menggerakkan potensi diaspora Indonesia untuk pembangunan nasional juga ditegaskan oleh Country Director UNDP Indonesia Christophe Bahuet. Menurutnya, filantropi dari diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh dunia dapat memainkan peran penting dalam pembangunan nasional, khususnya dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG (Sustainable Development Goals). Salah satu cara untuk mendorong partisipasi mereka adalah melalui SDG Philanthropy Platform yang saat ini tengah dikembangkan di Indonesia, bersama 3 negara lainnya, yakni Kolombia, Ghana dan Kenya. Platform ini bertujuan membantu sektor filantropi agar lebih memahami peluang untuk terlibat dalam mendukung tujuan pembangunan global, serta mendukung Pemerintah dalam memanfaatkan nilai tambah keterlibatan sektor filantropi.
Melalui platform ini sektor filantropi dan pemerintah bisa memahami potensi filantropi dari diaspora Indonesia dan menggalangnya untuk mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan. Christophe menambahkan, penggunaan teknologi informasi, seperti platform crowdfunding yang saat ini berkembang di Indonesia, bisa mengatasi hambatan geografis serta mempermudah partisipasi para diaspora Indonesia secara individual maupun melalui organisasi diaspora. Selain berkontribusi terhadap berbagai tujuan SDGs (tujuan 1 sampai 16), penggalangan peran dan kontribusi dari para diaspora Indonesia ini merupakan langkah konkrit untuk mengimplementasikan SDG nomor 17, yakni pengembangan kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.