Januari 24, 2017
Merawat Seni dengan Filantropi
Artikel ini dipublikasikan di website Koalisi Seni Indonesia. Untuk membaca artikel asli, silakan buka link ini.
Penulis: Anastha Eka
“Sebab kesenian yang tinggi ialah yang berasal dari hidup kita sehari-hari, diolah di dalam kehidupan seniman sendiri, yang tidak keluar dari pola hidup sehari-hari dan diciptakan serta dilemparkan serta di kemah dengan tidak mengingat moral atau tradisi, juga tidak bermaksud ini dan itu, hanya terdorong oleh suatu paksaan dalam yang memaksa.” (S. Sudjojono)
Dalam kacamata Sudjojono–salah seorang pionir dalam sejarah seni lukis modern Indonesia–karya seni dapat melintasi zaman jika dihasilkan dari renungan penciptanya atas kenyataan yang ia hadapi. Seni seharusnya terwujud dari dorongan batin si pencipta sendiri, sebagai cerminan yang murni dari jiwanya.
Perkataan Sudjojono benar adanya. Tengoklah bagaimana karya-karya dari para seniman dunia seperti Shakespeare atau Van Gogh tak hanya dapat melintasi waktu, tapi juga membentuk sejarah dan peradaban. Sejarah negeri ini pun dapat ditelusuri lewat penciptaan seni, seperti yang dilakukan Helena Spanjaard lewat buku-buku dan penelitiannya. Salah satunya lewat Artist and Their Inspirations, Spanjaard merekam perjuangan kemerdekaan, perubahan kondisi sosial dan politik, hingga pembentukan identitas kebangsaan Indonesia, lewat karya dari pelukis-pelukis besar bangsa.
Menciptakan seni yang jujur menyuarakan kondisi masyarakat dan kritis mendorong perubahan, bukanlah soal mudah. Butuh pendidikan seniman yang memadai dan penelitian yang ekstensif. Keduanya tentu butuh biaya. Di sisi lain, seni yang kritis malah dianggap njelimet dan tidak menghibur. Miskinnya apresiasi membuat pelaku seni tak dapat bergantung pada hasil penjualan karya atau tiket pertunjukan – yang pada kenyataannya pun kerap tak bisa menutupi ongkos produksi.
Sebagai usaha mendeskripsikan pelaksanaan filantropi dan mobilisasi sumber daya dari pemerintah, swasta, dan masyarakat Indonesia terhadap dunia seni dan budaya nasional, PIRAC telah melakukan penelitian selama bulan Januari hingga September 2009. PIRAC melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif dan mengumpulkan data lewat focus group discussion dan in-depth interview dengan berbagai organisasi yang menjadi donatur, pengelola, dan penerima dukungan bagi kesenian. Untuk melengkapi penelitiannya, PIRAC juga melakukan observasi dan studi literatur yang relevan dengan pelaksanaan filantropi untuk kesenian.
Pemerintah negara-negara Eropa telah menyadari pentingnya mendukung kesenian. Menurut data dalam penelitian David Throsby, seperti dikutip dalam penelitian PIRAC (Public Interest Reasearch And Advocacy Center), pada tahun 2002 pemerintah Perancis mengalokasikan 0,77% dari anggaran publiknya untuk kesenian. Perancis menjadi salah satu yang tertinggi, dibandingkan negara-negara di Eropa lainnya, seperti Belanda (0,45%), Swedia (0,42%) dan Inggris (0,41%). Sedangkan, penelitian ini memperlihatkan bahwa pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 dan 2010-2014, anggaran belanja pemerintah Indonesia untuk bidang pariwisata dan budaya hanya berkisar 0,06 sampai 0,09% per tahun dibandingkan dengan total belanja negara.
Pemerintah Amerika Serikat, meski hanya mengalokasikan 0,05% dari anggaran publiknya di tahun 2002, telah mengeluarkan hampir $2 milyar untuk 200 program kebudayaan yang diselenggarakan oleh lebih dari 30 lembaga pemerintah pusat pada tahun 2001. Alasan Amerika Serikat tidak memberi ruang anggaran yang besar untuk kehidupan kesenian dilakukan untuk membatasi intervensi negara kepadanya. Jika dilihat dari sudut pandang yang lain, hal ini juga bisa dianggap sebagai dukungan pemerintah, yaitu memberi ruang gerak yang luas bagi kesenian untuk berekspresi.
Melalui Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 93 tahun 2010, pemerintah pusat memberikan insentif pajak bagi pihak swasta yang melakukan kegiatan sumbangan sosial ataucorporate social responsbility (CSR). Seni dan budaya menjadi salah satu bidang yang menjadi obyek CSR dalam peraturan ini. Hanya saja, belum banyak perusahaan yang memahami regulasi ini secara mendalam sehingga menjadi tugas pemerintah untuk melakukan sosialisasinya. Dalam hal pengembangan seni dan budaya, pemerintah Indonesia memang memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Dalam penelitiannya, PIRAC memaparkan hasil pemetaan media yang menunjukkan bahwa pada tahun 2007 terdapat 1.372 kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan-perusahaan swasta, dengan nilai dukungan mencapai Rp 44 milyar. Dari 1.372 kegiatan tersebut, PIRAC hanya mencatat 18,1% yang disumbangkan untuk seni dan budaya. Kesenian belum menjadi prioritas.
Padahal, data di atas belum membedakan antara dukungan yang diberikan dalam bentuk CSR dengan yang berbentuk sponsorship. Dukungan untuk kesenian dari pihak swasta memang biasanya berbentuksponsorship. Padahal, sponsorship belum dapat dikategorikan sebagai filantropi karena adanya timbal balik yang diinginkan sponsor–biasanya dalam bentuk promosi produk atau peningkatan citra perusahaan–yang sering menyulitkan pelaku seni.
Meski begitu, PIRAC juga menunjukkan setidaknya dua contoh pola hubungan swasta dan seniman yang saling menguntungkan. Misalnya, hubungan antara Yayasan Bagong Kussudiardjo (YBK) dengan Djarum Kudus dan perusahaan-perusahaan sponsornya yang lain. Hampir sebagian besar kegiatan YBK untuk mementaskan teater mendapat sokongan dengan model sponsorship (PIRAC: 2009). Sebuah contoh lagi adalah program Srimulat Manggung Keliling yang didukung oleh Jawa Pos. Dalam program tersebut, Jawa Pos tak hanya menyokong dana dan fasilitas. Mereka juga membantu Srimulat membuat strategi pemasaran pertunjukan dan menjembatani regenerasi anggotanya dengan mengadakan Lomba Lawak Mirip Srimulat di Surabaya. Jika pihak swasta menyadari pentingnya sumbangsih kesenian terhadap kemanusiaan–sama pentingnya dengan bidang sosial atau pendidikan yang mendapat porsi lebih besar–tentu kesenian Indonesia dapat hidup dengan lebih baik.
Dalam kondisi seperti ini, dengan rendahnya perhatian pemerintah dan swasta, kesenian sangat membutuhkan dukungan masyarakat. Bahkan, masyarakat umum sebenarnya memiliki peran penting dalam filantropi seni. Di Amerika Serikat, pendanaan pertunjukan dari donor individu mencapai 20% dari ongkos produksi, lebih tinggi dari pendanaan perusahaan dan negara (PIRAC:2009). Contoh ini tentu melibatkan pedonor-pedonor individu yang memiliki dana besar, biasanya dari kalangan pengusaha dan pejabat, hingga bisa membiayai sebuah pertunjukan seni. Sebaliknya, dukungan individu bisa dan perlu juga dilakukan oleh masyarakat biasa.
Salah satu yang bisa dilakukan publik adalah bergabung dalam komunitas penikmat seni. Sahabat Salihara adalah salah satu program bagi masyarakat yang peduli dan ingin ikut membantu Komunitas Salihara menghidupkan kesenian. Dengan pilihan-pilihan nilai donasi yang relatif terjangkau, selain membantu kelangsungan seni, mereka yang bergabung juga mendapat berbagai keuntungan seperti undangan pembukaan program, tiket masuk, atau diskon belanja di Gerai Salihara.
Ada lagi bentuk dukungan yang kini sedang marak berkontribusi, yaitu crowdfunding. Crowdfundingmerupakan mekanisme penggalangan dana dari publik lewat online platform, untuk melaksanakan sebuah proyek atau bisnis. Mekanisme ini menjadi alternatif cara yang ditempuh oleh para pelaku seni untuk mendanai proyek-proyeknya, lewat situs-situs seperti Kitabisa.com atau Wujudkan.com. Djenar Maesa Ayu adalah salah satu pelaku seni yang berhasil mengumpulkan dana lewat crowdfunding untuk memproduksi film Nay.
Jika cara-cara tersebut belum dapat ditempuh, dukungan paling sederhana yang bisa diberikan publik adalah menonton pertunjukan atau menghadiri pameran seni secara rutin, baik yang gratis maupun berbayar. Sudah waktunya publik mengenyahkan pendapat bahwa seni berkualitas itu memusingkan. Sudah waktunya bagi sebagian masyarakat yang telah sadar pentingnya kesenian untuk membantu para pelaku seni, mengajak orang-orang di sekitarnya untuk ikut mengapresiasi. Seni tentu akan bermanfaat bagi kemanusiaan jika dapat bersentuhan langsung dengan manusia itu sendiri.
Kesenian sangatlah membutuhkan dukungan dari semua pihak. Bukan hanya pemerintah dan swasta yang bisa berperan, masyarakat umum pun bisa dan dukungan sekecil apa pun akan bermakna bagi kesenian. Sesungguhnya, filantropi bagi seni adalah salah satu jalan untuk merawatnya tetap murni. Berfilantropi berarti menjaga seni dari keterpaksaan mengalah pada kepentingan pihak-pihak tertentu dan mencegahnya merendahkan diri demi keuntungan, tanpa kontribusi untuk kemajuan peradaban.
Sumber bacaan:
Helena Spanjaard, Artists and Their Inspiration, LM Publishers, Volendam, 2016.
PIRAC, Filantropi dan Mobilisasi Sumber Daya untuk Pengembangan Seni Budaya, PIRAC, Jakarta, 2009.
Reni Efita, Donatur Seni Budaya Dapat Insentif Pajak, Bisnis Indonesia, 6 September 2013.
S. Sudjojono, “Kesenian, Seniman dan Masyarakat”, dalam Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-Esai Pilihan, Penerbit Nalar, Jakarta, 2006.
S. Sudjojono, “Seni Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang”, dalam Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-Esai Pilihan, Penerbit Nalar, Jakarta, 2006.
Yulianisa Sulistyoningrum, Sinar Mas Bangun Gedung Biologi UGM Lewat CSR, Kabar24.com, 16 Juni 2015.