Keberlanjutan finansial adalah suatu keadaan di mana suatu organisasi mempunyai dana untuk menutupi biaya-biayanya di masa mendatang melalui kombinasi pendanaan donor dan pendapatan lokal. Membangun keberlanjutan finansial dan mendiversifikasi pendanaan merupakan hal yang penting bagi lembaga filantropi serta nirlaba mengingat tujuan akhirnya adalah untuk memastikan bahwa dampak kerja organisasi-organisasi tersebut dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
Salah satu pendekatan dan metode yang dapat digunakan oleh lembaga filantropi dan nirlaba adalah pengembangan bisnis sosial (social enterprise). Dengan latar belakang tersebut, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) dan Instellar, mengadakan Philanthropy Learning Forum ke-58 dengan tema kegiatan “Memperkuat Keberlanjutan serta Dampak Lembaga Filantropi dan Nirlaba melalui Pendekatan Social Entrepreneurship”. Bisnis sosial atau social enterprise adalah bisnis yang tujuan utamanya adalah sosial dan surplusnya diinvestasikan kembali untuk tujuan tersebut, dalam bisnis atau komunitas, dan tidak didorong oleh kebutuhan untuk memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham dan pemilik. Tipologi social enterprise oleh Kim Alter mengklasifikasikan integrasi antara program sosial dan kegiatan bisnis. Salah satunya, yaitu Integrated Social Enterprises, di mana hubungan antara sosial dan bisnis saling bersinergi. Tipe ini bisa berbentuk PT atau divisi bisnis di dalam bagian dari organisasi nirlaba. Dengan bagian bisnis yang tetap terkoneksi dengan misi, memungkinkan para lembaga filantropi dan nirlaba untuk tetap menjalankan program sosial tanpa perlu bergantung dari donor.
Kegiatan ini dihadiri oleh lebih dari 140 partisipan melalui Zoom Webinar dan YouTube Live Streaming. Dalam kata sambutannya, Chief Operating Offficer Instellar, Adisti Chandra, menyampaikan bahwa “Funding diversification merupakan hal yang penting karena ketika sebuah lembaga nirlaba hanya mengandalkan dan bergantung pada satu sumber pendanaan, misalnya hibah/grant, memperbesar resiko keberlanjutan organisasi tersebut. Sebuah organisasi nirlaba yang memiliki aktivitas pendanaan atau menghasilkan pendapatan (revenue) yang dapat membantu biaya operasional organisasi tersebut, merupakan salah satu opsi yang sehat untuk dilakukan. Bisnis model seperti ini akan mendukung diversifikasi pendanaan dan memperkuat ketahanan organisasi. Butuh sebuah keberanian untuk sebuah organisasi memulai merencanakan diversifikasi pendanaan dengan perencanaan dan tujuan yang ingin dicapai serta bertransformasi menjadi social enterprise sehingga lebih resiliensi.” Adisti juga menambahkan bahwa perlunya kolaborasi multipihak untuk mengakselerasi transformasi secara internal agar prosesnya lebih efektif, efisien, serta berdampak.
Alexander Irwan, Direktur Ford Foundation, mengatakan bahwa ada enam tantangan yang dihadapi oleh lembaga filantropi di Indonesia, yaitu pertama, mobilisasi pendanaan. Dimana lembaga-lembaga di daerah di tingkat provinsi memiliki tantangan dalam memobilisasi pendanaan. Kedua, lembaga filantropi yang sudah berhasil membangun pendanaan menghadapi tantangan baru dalam hal pengelolaan asset keuangan. Misal, pada lembaga filantropi yang telah memiliki endowment fund atau dana abadi harus mengelola dengan baik agar dapat terus bertumbuh. Ketiga, sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel merupakan syarat yang mutlak. Keempat, belum adanya sistem grantmaking serta monitoring dan evaluasi untuk menghasilkan dampak maksimal. Kelima, tata kelola kelembagaan yang belum sesuai dengan peraturan yang berlaku dari segala aspek; baik undang-undang yayasan, akuntasi, serta keuangan nirlaba. Keenam, perlu penguatan kerjasama dengan pemerintah serta pemangku kepentingan lain untuk meningkatkan dampak yang lebih luas.
Pendekatan yang dilakukan oleh Ford Foundation untuk penguatan lembaga filantropi di Indonesia adalah dengan membangun ekosistem dan mendukung secara berkelanjutan agar dukungan yang diberikan dapat maksimal. Ford Foundation juga mendorong untuk berkembangnya investasi berdampak di Indonesia yang memprioritaskan bagaimana mendorong pengembangan social enterprise agar dapat menjadi investable yang siap menerima partisipasi saham, maupun pinjaman-pinjaman dari modal impact investing tersebut. Tentunya lembaga filantropi juga berperan untuk memastikan sumber dayanya ke area-area yang berdampak lingkungan dan berdampak sosial.
Direktur Program Dompet Dhuafa, Bambang Suherman, menambahkan bahwa semakin besar berkembangnya lembaga filantropi dan nirlaba maka semakin dinantikan dampak yang bisa dirasakan oleh publik. Dompet Dhuafa mengelola sistem ZISWAF (Zakat, Sedekah, Wakaf) untuk menguatkan aktor lokal yang ingin dikembangkan. Kini, Dompet Dhuafa tengah mengembangkan program pemberdayaan berbasis komoditas yang disebut “Filantropreneur”. Menurutnya, cara yang paling efektif bagi lembaga zakat untuk menciptakan alternatif pembiayaan bagi lembaga ialah dengan memproduksi lebih banyak lagi program yang berbasis zakat produktif. Dengan cara seperti ini eksistensi lembaga sebagai pengelola kemiskinan dapat langsung diukur dampaknya menjadi merubah seseorang atau kepala keluarga dari miskin menjadi tidak miskin. Contoh kaji dampak yang Dompet Dhuafa lakukan ialah Program Desa Tani yang telah berjalan selama lima tahun. Program ini mampu merubah pendapat masyarakat dari 1,4 juta perbulan sebelum intervensi program menjadi 4.3 juta per bulan setelah intervensi program.
Irvan Faried, Senior Business Analyst Instellar, menyebutkan ada 3 tipologi dari Social Enterprise. Pertama, Embedded Social Enterprise dimana sosial programnya berbanding lurus dengan enterprise activities. Kedua, Integrated Social Enterprise dimana sosial programnya beririsan dengan enterprise activities. Ketiga, External Social Enterprise dimana profit yang dihasilkan oleh social enterprise tersebut disalurkan untuk program sosial. Selain itu ada enam indikator kunci untuk mengukur kesiapan suatu organisasi untuk memulai lini bisnis baru yang dapat menghasilkan pendapatan, yaitu Top Management Commitment, Human Resource, Financial Resource, Business Competence, Asser, dan External Resources. Transformasi dan pengembangan diversifikasi pendanaan ini memang bukannya perjalanan yang singat dan memang butuh waktu yang cukup panjang. Namun menurut Irvan, melalui kolaborasi akan memberikan dampak yang baik untuk keberlanjutan organisasi selama organisasi tersebut mau memulai dan konsisten dengan strategi yang matang.
Tanah Air Lestari merupakan salah satu lembaga filantropi dan nirlaba yang telah melewati proses transformasi menjadi social enterprise. Dalam paparannya, Febri Raharningrum, Chief Executive Officer Tanah Air Lestari, menyatakan “Sebagai sebuah organisasi nirlaba untuk bertransformasi ke social enterpreneur diperlukan kesiapan internal management yang matang, dengan menyiapkan SDM yang dapat memimpin transformasi peralihan. Selain itu, organisasi nirlaba juga harus mampu menganalisa target pasar sehingga dapat memberikan dampak yang berkelanjutan seperti yang telah dilakukan oleh Tanah Air Lestari”. Tanah Air Lestari mengajak para organisasi nirlaba lainnya untuk sama-sama bertukar ide, gagasan sebagai bagian dari gerakan perubahan dalam ekosistem ini.
memandu diskusi melalui interaksi
Dalam sesi diskusi, Alexander Irwan juga menambahkan terkait ekosistem Impact Investing. “Terkait hal ini, mau tidak mau, kolaborasi harus dilakukan antara berbagi aktor dari investasi berdampak ini. Kami ingin menjaring semakin banyak kolaborasi dengan Fund Managers yang fokus ke Impact Investing, yang mana Fund Manager akan membuat dan mencari investor yang kemudian dananya akan dikumpulkan menjadi Impact Investing Fund yang harus disalurkan. Selain itu, kolaborasi dengan pemerintah juga harus didorong agar mengeluarkan kebijakan yang mendukung investasi berdampak. Suatu saat jika telah terbukti ada cukup banyak Fund Manager yang tertarik dengan impact investing dan banyak social enterprise-nya, kita bisa mendorong pemerintah untuk memperkuat ekosistem khusus Impact Investing. Sehingga, akan semakin mendorong semakin cepatnya perguliran investasi berdampak di Indonesia”.
Dari forum diskusi, ditarik kesimpulan bahwa pentingnya ada collective impact dan pembagian peran dari masing-masing pemangku kepentingan. Paling tidak ada lima hal yang perlu dilakukan, yaitu pertama, adanya share measurement dimana setiap orang punya caranya masing-masing dalam memonitor targetnya, tetapi harus spesifik agar terukur. Kedua, adanya enabler yang membantu mempersiapkan kesiapan social enterprise itu sediri. Ketiga, pentingnya ada intervensi dari pembuat kebijakan, di mana tidak akan terwujud apabila tidak dijadikan sebuah kebijakan; pemerintah harus mulai peduli bagaimana membuka potensi pendanaan untuk social enterprise. Keempat, pentingnya banyak pihak yang memperkuat ekosistem impact investing ini melalui berkolaborasi. Kelima, perlu adanya aksi nyata dan keberanian dari setiap organisasi untuk memulai bertransformasi ke social enterprise.
Saksikan rekaman acaranya pada tautan di bawah atau melalui YouTube Filantropi Indonesia.