Oleh: Ahmad Zakky Habibie, Wakil Ketua Bidang II Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia
Tujuan utama pada SDGs keempat adalah Pendidikan yang Berkualitas. Ini membuat dunia pendidikan menjadi salah satu sektor yang menjadi perhatian oleh penyaluran program filantropi. Berdasarkan data Indonesia Philanthropy Outlook 2022, pendidikan menjadi prioritas pertama pada program yang telah dijalankan oleh filantropi yaitu sekitar 39,7%, diikuti oleh program pemberdayaan ekonomi, lingkungan hidup, advokasi, dan kesehatan.
Namun pada Indonesia Philanthropy Outlook 2024, ditemukan bahwa poin kontribusi SDG dari sektor ini menurun sebesar 20 poin. Faktornya beragam, salah satunya adalah hambatan-hambatan yang terjadi karena adanya pandemi COVID-19 yang ternyata memiliki dampak yang berlanjut (UNICEF, 2022).
Sektor pendidikan menjadi unik karena beririsan dengan sektor lain. Maka dari itu, dibutuhkan program atau solusi yang menyeluruh serta mencakup beberapa sektor lain agar bisa memberikan manfaat bagi penerima program. Selain itu, tantangan bagi Indonesia dalam meratakan kualitas pendidikan juga terletak pada kondisi geografis, sehingga terdapat istilah memajukan pendidikan pada daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Pada kenyataannya, daerah yang berada di batas-batas terluar negara Indonesia lah yang memiliki kesulitan dalam mendapatkan pendidikan berkualitas. Hal ini dapat dikarenakan juga oleh faktor pengajar yang lebih sering merupakan lulusan dari perguruan tinggi dari kota-kota besar di Indonesia, dan juga fasilitas pendidikan yang berada di kota besar lebih mudah mendapatkan perhatian daripada yang berada di daerah lebih terpencil. Yang paling penting, kondisi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat juga berpengaruh pada kesadaran masyarakat untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak di dalam keluarganya.
Program yang Mencakup Beberapa Tujuan Sekaligus
Sebagai contoh, pada sebuah keluarga yang tinggal di daerah 3T, orang tuanya mungkin lebih menjadikan kegiatan ekonomi sebagai prioritas. Alhasil, anak sering kali diminta untuk membantu kegiatan perekonomian keluarga. Jika ia anak nelayan, bisa jadi sang anak diharapkan bisa membantu untuk menangkap ikan, atau berdagang di pasar. Ini mengakibatkan sang anak mengabaikan pendidikannya. Artinya, bukan hanya kualitas pendidikannya yang harus ditingkatkan, tetapi keluarga juga harus diedukasi serta dibantu untuk bisa mandiri agar anak bisa fokus untuk menjalani pendidikan. Dengan pendidikan yang memadai, efek jangka panjang selanjutnya adalah sang anak dapat memajukan perekonomian keluarga—bisa dengan memajukan usaha atau pun bekerja. Maka sebelum bisa meningkatkan kualitas pendidikan, program filantropi harus terlebih dahulu mengkaji mengenai kondisi ekonomi keluarga, masalah apa yang dihadapi, dan apa solusi yang bisa ditawarkan untuk masalah tersebut.
Salah satu contoh lain adalah, bagaimana seorang anak mencerna pelajaran atau pendidikan yang didapatkan berkaitan lagi dengan kelengkapan gizi yang ia dapatkan di rumah. Jika keluarga sudah berdaya secara ekonomi dan memiliki sumber daya serta pengetahuan yang cukup untuk memenuhi gizi anak-anak, maka anak-anak pun bisa terbantu untuk mengikuti pelajaran dengan baik, dan menyerap kualitas baik dari pendidikan yang diberikan.
Ulasan Kasus: Program Timbang oleh Lazismu
Mengutip dari website resmi pengkajian SDGs oleh Bappenas, Indonesia memiliki sekitar 9 juta anak (37%) anak balita yang mengalami stunting (Riskesdas, 2013). Sementara itu, World Health Organization menyatakan bahwa bayi di bawah usia dua tahun yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan yang tidak maksimal, lebih rentan terhadap penyakit, dan menurunnya tingkat produktivitas. Akar permasalahannya terletak dari rumah tangga dari mulai pengetahuan ibu mengenai gizi selama seribu hari pertama anak, kurangnya akses makanan bergizi, dan kurangnya akses air bersih.
Salah satu contoh program yang berhasil menerapkan praktik baik untuk persoalan ini adalah program yang diterapkan oleh lembaga filantropi atau lembaga zakat Lazismu dan Nasyiatul Aisyiah. Bersama dengan lembaga swadaya masyarakat lain, lembaga ini membentuk program TIMBANG (Tingkatkan Kemampuan Gizi Seimbang) yang bertujuan untuk menyasar ibu hamil, para suami, remaja, kader posyandu, tenaga kesehatan, dan perangkat desa untuk bersama-sama mencegah stunting. Program ini dijalankan di tingkat desa di Kabupaten Cianjur.
Lalu, apa kaitannya dengan SDG 4—Pendidikan yang Berkualitas? Seiring dengan meningkatnya pemahaman yang mumpuni pada keluarga muda, para ibu dan ayah, remaja, dan perangkat desa mengenai stunting, semangat dan kesadaran dari masyarakat mulai terbentuk. Bersama dengan bimbingan program, level desa membentuk rencana aksi untuk pencegahan stunting dan mengadakan ruang diskusi kelompok belajar masyarakat berkelanjutan (Family Learning Center). Pada jangka panjang, pencegahan stunting diharapkan menciptakan generasi yang lebih sehat serta lebih baik dalam menyerap pendidikan. Sehingga nanti seiring dengan berkembangnya pendidikan seperti program gratis sekolah sampai SMA, meningkatnya akses PAUD untuk di setiap daerah, serta penyediaan beasiswa tingkat perguruan tinggi, dan program lainnya dapat diserap dengan maksimal.
Apa Lagi yang Bisa Kita Lakukan untuk Mendukung Tercapainya Pendidikan yang Berkualitas?
Filantropi Indonesia mencoba melihat berbagai sisi pendidikan dan faktor-faktor yang dapat mendukung serta menghambat keberhasilannya. Jika kualitas pengetahuan keluarga dan gizi menjadi akar masalah, maka masih terdapat sisi lain yang dapat menjadi perhatian program. Pada September 2023, Filantropi Indonesia bersama dengan Yayasan Guru Belajar menciptakan ruang diskusi mengenai ruang aman anti kekerasan demi mencapai pendidikan yang berkualitas. Pembahasan mengkaji mengenai kekerasan dari mulai yang dihadapi anak di rumah oleh orang terdekat, hingga potensi perundungan atau bullying yang mengintai anak. Untuk itu, diperlukan program seperti perlindungan terhadap program, konseling bagi keluarga, perundung, dan korban perundungan, serta penekanan edukasi yang bisa dibantu oleh satuan pendidikan untuk mencegah terjadinya perundungan di sekolah.
Kemendikbudristek juga telah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di berbagai satuan pendidikan sebagai langkah nyata menciptakan lingkungan belajar yang aman dan bebas dari kekerasan. Dengan lebih dari 93% TPPK telah terbentuk, tim ini menjadi garda terdepan dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah. Peran filantropi sangat diperlukan untuk mendukung implementasi TPPK, terutama melalui pelatihan, penguatan kapasitas, dan pendampingan yang berkelanjutan bagi tim tersebut.
Mencapai Pendidikan Berkualitas Melalui Berbagai Dimensi
Setiap dimensi yang mendukung dunia pendidikan berkualitas membutuhkan dukungan dari berbagai pihak yang berbeda. Inilah mengapa, semangat kokreasi dan kolaborasi dalam program filantropi menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Berbagai elemen dari pemerintah, satuan pendidikan, perangkat desa, unit swasta, hingga kerja sama dari masyarakat menjadi penting untuk bisa menciptakan solusi yang menyeluruh.
Dengan bertambahnya pemahaman masyarakat dan bertambahnya jumlah masyarakat yang semakin sadar akan faktor-faktor yang mendukung keberhasilan pendidikan, akan semakin cepat juga tujuan pendidikan berkualitas akan tercapai. Pemerintah pada porsinya, ikut mengiringi dengan memberikan program pendidikan yang inklusif dan tersedia bagi seluruh masyarakat.