Prioritaskan Vaksin Johnson & Johnson untuk Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan

Dengan hanya satu kali suntikan, vaksin Janssen dari Johnson & Johnson (Janssen) akan lebih efisien diberikan bagi masyarakat adat yang tinggal di daerah pedalaman dan kalangan disabilitas. Pemerintah dan penerima vaksin sama-sama diuntungkan. Kerja pemerintah makin ringan. Penerima vaksin hanya perlu sekali menempuh jarak jauh buat divaksin. KIPI juga kemungkinan hanya terjadi sekali saja.

JAKARTA-15 September 2021

Indonesia telah menerima 500 ribu dosis vaksin Janssen dari Belanda, Sabtu 11 September 2021. Empat hari sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah memberikan izin penggunaan darurat atau EUA (Emergency Use Authorization) untuk penyuntikan vaksin ini. Vaksin Janssen ini diproduksi oleh perusahaan farmasi Johnson & Johnson ini bagi masyarakat umum yang berusia 18 tahun ke atas dengan dosis tunggal sebanyak 0,5 mililiter.

BPOM sudah menguji tingkat efektivitas vaksin ini, bisa mencegah gejala Covid-19 secara keseluruhan sebesar 67,2 persen. Keunggulan lain vaksin ini adalah hanya perlu disuntikkan satu kali saja. Namun, Wakil Menteri Kesehatan dr. Dante Saksono Harbuwono menyatakan akan mengalokasikan vaksin ini ke wilayah aglomerasi di Pulau Jawa yang masih rendah vaksinasinya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan meminta Kementerian Kesehatan mengalokasikan Vaksin Janssen untuk masyarakat adat dan kelompok rentan. Vaksin ini diharapkan dialokasikan khusus bagi masyarakat di luar Jawa, penyandang disabilitas, atau  kelompok rentan lainnya. 

Menurut Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, penggunaan vaksin sekali suntik dari Johnson & Johnson ini, khususnya di luar Jawa, akan membuat vaksinasi lebih efisien karena tak perlu dua kali penyelenggaraan vaksinasi. “Efisiensi ini bermanfaat bagi pemerintah dan penerima vaksin,” kata Hamid.

Koalisi sudah bekerja membantu pemerintah melakukan vaksinasi bagi masyarakat adat dan kelompok rentan di lebih dari 30 kabupaten/kota di sembilan provinsi. Dari pengalaman Koalisi, menggelar vaksinasi di luar Jawa bukan hal mudah. Faktor jarak, kondisi jalan, hingga sarana transportasi bisa menyurutkan minat warga.

Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Rukka Sombolinggi, Vaksin Johnson & Johnson ini lebih cocok digunakan di daerah yang warganya tinggal jauh dari kota seperti masyarakat adat, di mana akses angkutan kendaraan minim. Misalnya di Meratus, Kalimantan Selatan, orang harus berjalan kaki dua hari demi menempuh jarak ke tempat vaksin. “Jika mereka hanya perlu sekali vaksin, akan sangat membantu,” kata Rukka.

Contoh lain adalah di Jambi. Warga di Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo harus menempuh perjalanan 4 jam hanya untuk ke pusat kota kecamatan. Belum lagi jika cuaca sedang turun hujan, maka jalanan berubah jadi lumpur yang susah dilewati. Di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, banyak warga yang sudah susah payah menuju lokasi vaksinasi, gagal divaksin karena mabuk akibat perjalanan jauh dengan mobil bak terbuka.

Demikian pula dengan vaksinasi di kalangan disabilitas. Berdasar pengalaman vaksinasi bagi kalangan disabilitas di Bantul, Yogyakarta, pada Agustus lalu, butuh persiapan ekstra panjang, tempat khusus, juru bahasa isyarat, dan tenaga pendamping tambahan. “Butuh koordinasi banyak pihak untuk menggelar vaksinasi kalangan disabilitas,” kata Buyung Ridwan Tanjung, co-founder Organisasi Harapan Nusantara (OHANA).

Penyelenggara vaksinasi harus melakukan edukasi agar penyandang disabilitas mau divaksin. Lokasi vaksinasi juga tak bisa asal pilih, harus ramah bagi pengguna kursi roda, kruk, atau alat bantu lainnya. Belum lagi, tak semua penyandang disabilitas memiliki kendaraan yang bisa digunakan untuk menuju lokasi vaksinasi. Maka, penyelenggara harus menyediakan kendaraan khusus untuk antar jemput penerima vaksin.

Saat di lokasi vaksin, penyelenggara juga harus menyediakan tenaga penerjemah bahasa isyarat, agar penyandang disabilitas rungu bisa berkomunikasi dengan tenaga Kesehatan. Plus, ada tambahan pemeriksaan, karena banyak penyandang disabilitas yang kurang memahami kondisi badannya sendiri. 

Jika vaksinasi digelar secara jemput bola ke rumah-rumah penerima vaksin, vaksinnya juga belum tentu bisa tahan lama. Pemerintah daerah juga kemungkinan sulit menggelar vaksinasi bagi kalangan disabilitas karena butuh bantuan dari banyak warga sipil.

Jika pemerintah mengalokasikan vaksin dari Johnson & Johnson ini untuk masyarakat adat di pedalaman, kalangan disabilitas atau kelompok rentan, maka beban kerja vaksinasi akan lebih ringan. Baik penyelenggara vaksinasi dan penerima vaksin akan menghemat waktu, tenaga, dan biaya separuhnya jika dibandingkan dengan vaksin lain. “Maka, kalau vaksinasi bisa hanya sekali suntik saja, itu luar biasa,” kata Hamid.

Dengan penggunaan vaksin sekali suntik, maka penerima vaksin juga hanya sekali menanggung efek vaksin atau biasa disebut dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Menurut penelitian BPOM, vaksin dari Johnson & Johnson ini memiliki efek dalam skala ringan hingga sedang. Efek yang biasa terjadi antara lain nyeri, kemerahan, hingga pembengkakan. Sedangkan KIPI sistemik yang umum terjadi adalah sakit kepala, merasa lelah, demam, nyeri otot, mengantuk, mual, muntah, hingga diare.

Jika mereka hanya sekali menanggung KIPI, tentu akan meringankan. Mengingat masyarakat adat atau warga di pedalaman tinggal jauh dari layanan kesehatan. Kalangan disabilitas juga akan terbantu, sebab mereka tak bisa leluasa bolak-balik periksa kesehatan jika menanggung KIPI.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan meminta pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan agar:

  1. Mengalokasikan Vaksin Janssen dari Johnson & Johnson bagi masyarakat adat dan kelompok rentan. Agar vaksinasi lebih efisien dan menguntungkan pemerintah serta penerima vaksin.
  2. Memberikan edukasi yang menyeluruh tentang Vaksin Janssen agar jika terjadi KIPI, tak berubah menjadi hoaks yang menjadi menakuti masyarakat.
  3. Melibatkan tokoh adat, organisasi penyandang disabilitas dan organisasi masyarakat sipil, untuk mengedukasi terkait KIPI pada Vaksin Janssen.
  4. Memberi pendampingan lebih intens bagi masyarakat adat dan kelompok rentan agar jika terjadi KIPI bisa segera menindaklanjuti dan tidak berkembang menjadi hoaks.

Tentang Koalisi

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan adalah koalisi organisasi masyarakat sipil (OMS) yang memberikan perhatian dan dukungan akses vaksinasi COVID-19 bagi Masyarakat Adat dan kelompok-kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas dan anak-anak. Koalisi ini terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, ormas keagamaan, organisasi filantropi, dan komunitas. Beberapa anggota Koalisi antara lain, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Organisasi Harapan Nusantara (OHANA), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Filantropi Indonesia, Perkumpulan Keluarga Berencana Nasional (PKBI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA).

Bagikan:

Rekomendasi Berita

fi-fifest2022-14
Urgensi Perubahan Iklim di Indonesia melalui Pandangan Filantropi | #FIFest2022
WhatsApp-Image-2024-07-19-at-16.00
Dorong Transformasi Ekosistem Pendidikan di Indonesia, Perhimpunan Filantropi Indonesia dan Tanoto Foundation Luncurkan Buku Kolaborasi untuk Negeri
1-3
Apresiasi dan Transformasi Koalisi Akses Vaksinasi untuk Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan

Berita Terkini

DSC_0221-scaled
Kolaborasi Filantropi untuk Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Berbasis Proyek
IMG_5799-scaled-e1733197753608
Simposium Filantropi untuk Aksi Iklim 2024 Mengakselerasi Transisi Hijau Indonesia melalui Filantropi Strategis
IMG_4682-scaled
Peran Perhimpunan Filantropi Indonesia dalam Meningkatkan Akses Vaksinasi dan Edukasi COVID-19 bagi Kelompok Rentan
Dapatkan berita dan informasi terbaru dari kami

Buat langkah kecil untuk bangkitkan perubahan