Agustus 7, 2017
BAZNAS dan Filantropi Indonesia Inisiasi Fiqih Zakat on SDGs
Sebagai bagian dari lembaga filantropi di Indonesia, BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Sedekah) dan LAZIS (Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sedekah) bisa berkontribusi dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) melalui pengembangan berbagai program yang sudah dilakukan. Zakat bisa menjadi sumber daya alternatif dalam mendukung pencapaian SDGs dengan mengedepankan pendekatan yang inklusif dan program yang strategis, berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan. Sementara itu, SDGs dapat digunakan sebagai alat ukur dan menjadi panduan program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh berbagai lembaga pengelola zakat.
Melihat pentingnya justifikasi teologis dalam bentuk fatwa ulama dalam penggalangan, pengelolaan dan penyaluran zakat untuk mendukung pencapaian program SDGs (Fiqih Zakat on SDGs), Filantropi Indonesia dan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) menggelar Philanthropy Learning Forum (PLF) 18 yang mengangkat tema Merumuskan Fiqih Zakat on SDGs pada Rabu, 26 Juli 2017. Diskusi ini bertujuan untuk menjaring masukan dari para ulama, pegiat zakat, akademisi dan pegiat filantropi nirlaba bagi inisisiatif penyusunan Fiqih Zakat on SDGs yang diinisiasi oleh BAZNAS bekerja sama dengan UIN Jakarta.
Acara tersebut menghadirkan empat pembicara yaitu: Suzanty Sitorus (Sekretaris Badan Pengurus Filantropi Indonesia), KH. Masdar F. Mas’udi (Baznas), Hasanuddin Abdul Fatah (Ketua Komisi Fatwa MUI), serta Tim Perumus Fiqih Zakat Untuk SDGs yang diwakili oleh M. Maskum. Sebagai pembuka acara, Suzanty memaparkan bahwa SDGs merupakan seperangkat tujuan global yang disepakati oleh negara-negara anggota PBB dan menjadi komitmen komunitas global dan nasional. Salah satu perbedaan yang mendasari antara Millennium Development Goals (MDGs) dan SDGs adalah jumlah tujuan yang ingin dicapai. Sebelumnya MDGs hanya memiliki 8 tujuan dan banyak yang tidak tercapai. Sementara SDGs memiliki 17 tujuan, dengan 169 target dan 124 indikator. Tujuan zakat sendiri telah tercakup dalam SDGs. Dalam pencapaian SDGs, kelompok yang paling potensial adalah filantropi keagamaan.
Sementara itu, menurut Hasanuddin, terlebih dahulu harus dipahami apa itu fiqih zakat. Landasan hukum fiqih zakat berkaitan dengan hukum islam, yaitu wahyu dan wahyu plus akal (fiqih). Keduanya mempunyai karakteristik yg berbeda. Wahyu adalah kebenaran yang selalu benar (absolut), permanen dan universal. Sedangkan fiqih, kebenarannya relatif, tidak permanen dan tidak universal. Zakat sendiri mengandung dua aspek yaitu ibadah (dari wahyu dan tidak boleh dirasionalkan) dan muamalah (boleh dilakukan, bisa dirasionalkan).
Masdar menambahkan dari 5 rukun Islam, zakat terkadang ditelantarkan. Padahal potensi zakat bisa Rp 217 triliun per tahun. Sedangkan yang baru terkumpul sejumlah Rp 5 – 6 triliun. Mengapa bisa demikian? Zakat tidak dapat ditunggu, karena harus dipungut. Tapi faktanya terbalik, harus ditunggu dan dipungut. Padahal ada perintah “Ambilah harta mereka untuk zakat”. Lembaga Amil Zakat memiliki tantangan yang berat untuk dapat memungut zakat. Bagaimana LAZ harus dapat meningkatkan posisinya untuk berada dalam posisi memungut bukan menerima. Beberapa aturan mungkin dapat diubah guna memfasilitasi pengembangan zakat. Misalnya apakah pajak dan zakat dapat disinergikan.
Senada dengan itu, Maskum juga memperkuat argumen bahwa zakat juga dapat digunakan untuk SDGs. Bahkan dalam sejarahnya zakat pernah digunakan sebagai sumber pendapatan negara dan bagaimana proses pengumpulan zakat menjadu tugas negara. Oleh karena itu karakteristik penerimaan zakat harus diperjelas. Beberapa usulan yang dikemukaan dalam acara tersebut diantaranya, fiqih harus sesui dengan SDGs, semua pengelola zakat harus mempunyai kesempatan yang sama untuk pengumpulan, zakat tidak hanya menjadi alternatif tapi juga pradigma keseluruhan, zakat dalam aspek ekonomi supaya harta tidak tertahan tapi dapat terkumpul, soal bagaimana isu-isu krusial dalam zakat, apakah boleh muslim dan non-muslim menerima zakat, dan apakah zakat boleh digunakan untuk kepentingan lain. Jadi sebelum zakat benar-benar digunakan untuk implementasi SDGs, terlebih dahulu harus dirumuskan secara jelas aturannya.