Oktober 9, 2016
[Philanthropy Learning Forum] Venture Philanthropy and Impact Investing: A Road to Sustainable Social Investment
Pada hari Selasa (26/7), terselenggara agenda bulanan Filantropi Indonesia, Philanthropy Learning Forum. Philanthropy Learning Forum seri ke-9 kali ini mengangkat tema “Venture Philanthropy and Impact Investing: A Road to Sustainable Social Investment.” Forum yang dihadiri oleh pegiat dan penggerak filantropi di Indonesia ini berlangsung di Tempo Scan Tower, atas dukungan dari PT. Adaro Energy, Tbk.
Untuk membahas topik venture philanthropy dan impact investment lebih dalam, ada empat narasumber yang berpengalaman di bidangnya yang dihadirkan untuk memberikan paparan, yaitu: Muhammad Maulana dari Uno Kapital and Workout.id, Adi Sudewa dari Aavishkaar Venture Management Services, Jamil Abbas dari Perhimpunan BMT Indonesia, danStephanie Hermawan dari Angel Investment Network Indonesia (Angin). Sedangkan hadir sebagai moderator adalah Rizky N.H. Penna dari Sankalp Forum.
Ibu Okty Damayanti selaku Ketua Yayasan Adaro Bangun Negeri memberikan sambutan di PLF 9
Acara yang dimulai pukul 13.00 WIB ini dimulai dengan paparan Muhammad Maulana dari Uno Kapital and Workout.id. Muhammad Maulana berbagi pengalaman pribadinya pada tahun 2006 sebelum akhirnya memutuskan terjun di dunia venture philanthropy. Muhammad Maulana terinspirasi dari apa yang dilakukan Muhammad Yunus dengan gagasan Grameen Bank. Grameen Bank terbilang berhasil membantu kaum marjinal di Bangladesh dan membawa Muhammad Yunus mendapatkan hadiah nobel perdamaian. Fakta tersebut mulai membuka mata Muhammad Maulana tentang social entrepreneurship dan impact investment.
Pada tahun 2007, Maulana bertemu dengan partner bisnisnya, Sandi Uno. Bersama Sandi Uno, dia banyak berdiskusi tentang entrepreneurship, social movement, dan impact investment. Karena kesamaan visi ini, Maulana bergabung di Saratoga Capital yang dipimpin oleh Sandi Uno. Salah satu project Saratoga Capital yang dipercayakan kepada Maulana pada tahun 2009 adalah Uno Kapital, sebuah perusahaan yang bergelut di bidang social impact investment di Indonesia.
Walaupun pada tahun 2009, istilah social entrepreneurship masih asing di Indonesia, Muhammad Maulana giat mensosialisasikannya melalui keterlibatannya di Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI), Asian Venture Philanthropy Venture (AVPN), serta Kadin Indonesia. Beberapa kolega sempat bertanya mengapa Maulana, seorang finance, bisa memutuskan untuk terjun di dunia social work sampai saat ini.
Maulana tidak ingin hanya membuat profit semata, tetapi juga menghasilkan sesuatu yang baik (good benefit) dan dampak yang baik (good impact) untuk sesama. Istilahnya, ‘making money and doing good’. Jika melihat kecenderungan generasi milenial yang terjun di dunia kerja saat ini, mereka tidak hanya bekerja, tetapi juga mempunyai social value, sekaligus cita-cita bisa berkontribusi di dunia sosial.
Keempat narasumber dan moderator PLF 9
Paparan kedua, disampaikan oleh Adi Sudewa dari Aavishkaar, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang venture management services yang berkedudukan di Mumbay, India. Aavishkaar melakukan investasi kepada bisnis-bisnis nirlaba yang memiliki potensi tinggi untuk tumbuh dan beroperasi di wilayah suburban dan urban.
Di India, Aavishkaar sudah berdiri dan mulai beroperasi sejak tahun 2001. Sedangkan, di Indonesia sendiri baru dimulai pada tahun 2015 dan baru menjalankan satu investasi. Dibandingkan dengan Indonesia, iklim di India lebih kondusif. Sehingga, pertumbuhannya pun berbeda.
Seperti gagasan venture philanthropy pada umumnya, Aavishkaar berinvestasi pada bisnis yang dijalankan oleh sebuah perusahaan di suatu daerah. Sehingga, dalam proses ini, Aavishkaar tidak bisa langsung membantu daerah tersebut walaupun daerah tersebut sedang kekurangan.
Salah satu syarat perusahaan yang bisa mengajukan diri di Aavishkaar adalah perusahaan dengan skala menengah dan belum besar. Aavishkaar akan menerapkan equity investment, yaitu penyertaan modal (yang bukan disebut pinjaman), dengan minimal investasi $500.000 Dolar Amerika. Jika sebuah perusahaan belum siap dengan angka ini, maka Aavishkaar akan mengarahkannya ke skema lain, yaitu angel investment.
Selanjutnya, paparan ketiga disampaikan oleh Jamil Abbas dari Perhimpunan BMT Indonesia. Jamil Abbas berbagi pengalaman dan ilmunya tentang Islamic social microfinance group, yaitu Baitul Maal Tamwil (BMT). Apakah BMT masuk dalam kategori social entreprise? Menurut Jamil Abbas, social entreprise didefinisikan sebagai salah satu upaya dalam mengatasi masalah sosial dengan pendekatan bisnis serta adanya skema keberlanjutan di dalamnya. BMT sendiri lahir dari konsep venture philanthrophy.
Dilihat dari asal katanya, ‘Baitul‘ berarti rumah, ‘Maal’ berarti sosial, dan ‘Tamwil’ berarti bisnis. Dari sana dapat diartikan, BMT sebagai rumah sosial dan bisnis. Melalui pendekatannya, BMT mengubah pola pemberian bantuan dari semula donor minded menjadisocial entrepreneurship. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan masyarakat/komunitas penerima bantuan yang berdaya upaya, produktif, dan mandiri.
Peserta PLF 9 di TEMPO Scan Tower
Paparan terakhir disampaikan oleh Stephanie Hermawan dari Angel Investment Network Indonesia (Angin). Stephanie Hermawan adalah seorang entrepreneur yang menjadi angel investor atas refleksi dari pengalaman pribadinya selama ini sebagai seorang pengusaha sukses.
Dengan semangat ‘doing business and helping people,’ Stephanie memulai kiprahnya di Angin sebagai angel investor. Menurut Stephanie Hermawan, social entrepreneurship berbicara tentang keseimbangan suatu profit yang dihasilkan oleh suatu bisnis dengan tujuan sosial bisnis itu sendiri (social impact). Stephanie Hermawan memberikan contoh salah satu brandkosmetik dan perawatan tubuh terkenal di dunia. Perusahaan tersebut bisa saja meramu formula kosmetik dari pabrikan secara masal tetapi perusahaan tersebut justru memilih membuat produk kosmetik dengan cara memberdayakan perempuan di suatu daerah, serta aktif mengkampanyekan suatu isu sebagai bagian dari perusahaan tersebut.
Pemaparan materi dari empat narasumber diakhiri dengan tanya jawab dari peserta dan kesempatan untuk berdiskusi.