Oktober 9, 2016
[Philanthropy Learning Forum] Yayasan Keluarga: Tantangan dan Peluang Pengembangannya Menjadi Lembaga Filantropi Modern
“Yayasan Keluarga di Indonesia: Tantangan dan Peluang Pengembangannya menjadi Lembaga Filantropi Modern”
Jakarta, 28 Januari 2016
Nara sumber:
– Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Perhimpunan Filantropi Indonesia
– Indra Cahya Uno, Mien R. Uno Foundation
– Paulina Maria Dame Uli, Yayasan DEL
– Terzi Niode, Omar Niode Foundation
Moderator: Sita Supomo, Badan Pengurus PFI
Philanthropy Learning Forum ke-3 (PLF-3) dengan tema yayasan keluarga diselenggarakan bersama oleh PFI dan Mien R. Uno Foundation di Ruang Henk R. Uno, SBM-ITB, Jakarta pada tanggal 28 Januari 2016. Acara ini dibuka dengan sambutan pengantar oleh Ketua Badan Pelaksana PFI, Timotheus Lesmana Wanadjaja, dan Ketua Dewan Pengawas Mien R. Uno Foundation, Sandiaga Uno. Sebelum PLF-3 ditutup, Co-Chair Badan Pengarah PFI, Erna Witoelar, memberikan kesan dan pandangannya.
Dari pandangan yang disampaikan oleh para pembicara serta diskusi dan pemikiran dari peserta yang hadir, berikut intisari PLF-3:
- Meningkatnya ekonomi Indonesia telah melahirkan orang-orang yang memiliki pendapatan jauh di atas rata-rata (high net worth individual atau HNWI) yang juga memiliki kepedulian untuk melakukan perubahan dan membantu sesama dalam menghadapi berbagai persoalan sosial dan ekonomi serta memperbaiki lingkungan hidup. Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan untuk membuktikan bahwa kontribusi finansial benar-benar menghasilkan dampak positif dan berkelanjutan, para HNWI mewujudkan kepedulian tersebut melalui wadah pengelolaan formal seperti yayasan keluarga.
- Praktik di Indonesia menunjukkan evolusi perkembangan yayasan keluarga yang sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan sektor nirlaba dan masyarakat sipil secara umum, di samping konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari sisi pengelolaan, banyak yayasan keluarga kini dikelola oleh generasi kedua, meskipun generasi pertama masih berperan dalam tata kelola (governance), misalnya sebagai pembina. Dari sisi program, intervensi generasi kedua yang berusia di bawah 50 tahun membawa dinamika baru dan inovasi. Dari generasi kedua inilah tumbuh keinginan yang besar untuk memastikan sumber daya finansial—meskipun terbatas–menghasilkan dampak yang besar. Pengelola yayasan keluarga mengupayakan fokus dalam hal wilayah, kelompok sasaran dan jenis kegiatan sehingga makin spesifik dan lebih mudah mengukur dampaknya. Pengelola yayasan keluarga masa kini menyadari pentingnya kemitraan dengan berbagai pihak untuk mewujudkan misi mereka, termasuk sebagai strategi untuk mengurangi ongkos.
- Latar belakang pendiri yayasan keluarga beragam: pengusaha, tokoh masyarakat, pejabat dan mantan pejabat, ilmuwan, dan selebriti. Alasan pendirian juga beragam: menciptakan warisan keluarga; mewariskan tradisi kedermawanan kepada anak/cucu; menyatukan keluarga denngan berbagi perhatian kepada masalah tertentu; berbagi untuk komunitas/masyarakat; independensi, kebebasan dan keinginan untuk melakukan perubahan yang signifikan; dan mendapatkan insentif pajak. Menurut Hamid Abidin, banyak yayasan keluarga di Indonesia menampakkan ciri khas lain, yaitu: menggunakan yayasan sebagai sarana untuk mencari penghasilan; kurang percaya pada lembaga lain sebagai mitra kerja; menggunakan yayasan sebagai wadah untuk menunjukkan atau mengekalkan eksistensi di tengah perubahan zaman.
- Yayasan keluarga Mien R. Uno merupakan contoh yang latar belakang pendirinya tokoh masyarakat, sedangkan Yayasan DEL adalah contoh yayasan keluarga yang didirikan oleh pejabat/mantan pejabat. Kedua yayasan tersebut dibangun dengan tujuan menciptakan masyarakat yang lebih kuat dan sejahtera melalui pendidikan dan kemandirian ekonomi. Yayasan Omar Niode didirikan oleh keluarga Katili-Niode untuk mengenang putra mereka Omar yang wafat di usia muda. Yayasan ini mendedikasikan diri untuk mendukung isu pertanian, pangan dan seni kuliner yang merupakan minat Omar ketika studi di luar negeri.
- Beberapa tantangan yang dihadapi oleh yayasan keluarga hampir sama dengan organisasi nirlaba lain, misalnya: keterbatasan sumberdaya finansial dan manusia, di samping pengelolaan program dan penggalangan dana. Banyak yayasan keluarga tumbuh secara alamiah dengan sumber daya yang ada, alih-alih tumbuh dengan disain dan perencanaan besar yang berjangka panjang. Tantangan yayasan keluarga yang lebih khas antara lain: transformasi nilai-nilai dari generasi pertama ke generasi kedua; pelibatan tokoh dan profesional dari luar keluarga dalam tata kelola dan manajemen harian yayasan; pengembangan arah program dari sekedar derma (charity) ke arah filantropi, terutama oleh generasi kedua.
Para pegiat filantropi dari yayasan keluarga berharap pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar kepada sektor filantropi dan memperlakukannya sebagai salah satu pilar ekonomi bangsa. Kiprah filantropi, termasuk yayasan keluarga, terbukti telah membantu mengangkat masyarakat untuk tidak jatuh ke dalam jurang kemiskinan dan bahkan menjadi mandiri meningkatkan ekonomi keluarga dan komunitasnya dan, lebih luas lagi, memperbaiki kehidupan bangsa. Isu-isu yang dipandang sebelah mata oleh pemerintah tapi dikembangkan oleh yayasan keluarga, seperti kuliner, terbukti memiliki efek berganda ekonomi yang signifikan.