Oktober 9, 2016
[Philanthropy Learning Forum] Sejauh Mana Insentif Perpajakan Menyuburkan Filantropi Indonesia?
“Sejauh Mana Insentif Perpajakan Menyuburkan Filantropi Indonesia?”
15 Desember 2015 – Laporan “Rules to Give by: a Global Legal Environmental Index” yang diterbitkan oleh Nexus, McDermott Will & Emery dan Charities Aid Foundation (CAF) tahun 2014 menyimpulkan bahwa insentif pengurangan pajak bagi para donatur perseorangan dan perusahaan berhasil meningkatkan pertumbuhan kontribusi filantropi secara signifikan, bahkan lebih tinggi pengaruhnya daripada pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut bahkan ditemukan di negara-negara berpendapatan rendah.
Indonesia telah memiliki kebijakan insentif keringanan pajak bagi donasi untuk kegiatan nirlaba melalui Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010 tentang “Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olah Raga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto”, dan Peraturan Menteri Keuangan No.76/PMK.3/2011 tentang “Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olah Raga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.”
Sejauh mana efektivitas kebijakan dan peraturan tersebut terhadap pertumbuhan filantropi di Indonesia? Philanthropy Learning Forum ke-2 (PLF-2) membahasnya dengan menghadirkan tiga nara sumber: Waskito Eko Nugroho, Kepala Seksi Analisis Peraturan Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan; Prof Haula Rosdiana, Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan FISIP Universitas Indonesia; dan Sentot Priyanto, Tax Partner RSM Indonesia.
Selain itu, pembahasan diperkaya dengan pandangan wakil dari dua perusahaan yang telah memberikan donasi kepada berbagai kegiatan nirlaba, yaitu Hario Soeprobo dari First State Investment Indonesia dan Shirley dari PT Adaro Energy, dan wakil dari dua lembaga nirlaba, Linda Hoemar Abidin dari Koalisi Seni Indonesia dan Muhammad Senang Sembiring, Yayasan KEHATI.
Franki Welirang – Co Chair Badan Pengarah PFI
Sebelumnya, acara dibuka dengan pengantar dari penyelenggara acara, Robin Bush (Team Leader Knowledge Sector Initiative) dan Franky Welirang (Co-Chair Badan Pengarah Perhimpunan Filantropi Indonesia). Diskusi dipandu oleh Suzanty Sitorus dari Badan Pengurus PFI.
Dari pandangan pembicara dan penanggap serta diskusi dan pemikiran dari peserta yang hadir, berikut intisari PLF-2:
- Pelaksanaan kebijakan insentif pajak, khususnya terkait keringanan pajak untuk donasi kegiatan nirlaba, menunjukkan banyak masalah yang membuatnya belum efektif mendorong peningkatan kontribusi filantropi baik dari perseorangan maupun perusahaan.
- Saat ini Undang-Undang Pajak Penghasilan sedang direvisi oleh Pemerintah dan DPR. Saat yang tepat bagi pegiat filantropi untuk memberikan masukan perbaikan.
- Evaluasi kebijakan insentif pajak untuk filantropi memerlukan suatu kajian yang mendalam. Diskusi PLF-2 mengawali identifikasi masalah-masalah penting yang terbagi ke dalam masalah struktural dan operasional.
- Masalah struktural dalam kebijakan insentif pajak terkait dengan falsafah pembuat UU mengenai kontribusi sektor nirlaba terhadap penanganan berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa, baik sosial, lingkungan maupun ekonomi. Belum tampak pemahaman bahwa upaya sektor nirlaba selama ini sangat besar meringankan beban Pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan dan oleh karena itu seharusnya diberikan lebih banyak insentif. Selama ini yang terjadi justru ketimpangan: hal yang berkontribusi terhadap kerusakan dan masalah, baik jangka pendek maupun panjang, justru mendapatkan banyak kemudahan dari pemerintah. Sementara insentif untuk upaya perbaikan, pembaharuan, dan restorasi di bidang sosial, lingkungan dan ekonomi justru sangat ‘irit’. Hal tersebut antara lain berdampak terhadap sempitnya ruang lingkup kegiatan nirlaba yang dicakup dalam insentif pajak. Masih banyak kelompok inisiatif lain yang belum dicakup, seperti pelestarian lingkungan, seni dan budaya, kesehatan dan keadilan sosial.
- Masalah operasional dalam kebijakan insentif pajak terkait dengan produk hukum yang saat ini belum cukup detil hingga tingkat Surat Edaran atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak untuk memudahkan donatur dan konsultan pajak memanfaatkan keringanan pajak. Selain itu, terdapat beberapa ketentuan yang dirasakan tidak mendukung, antara lain pembatasan donasi sebesar 5% dari pendapatan bersih perusahaan dan diskoneksi antara ketentuan di dalam UU/peraturan insentif pajak untuk filantropi dengan UU lain yang terkait seperti UU Yayasan. Beberapa konsep dan istilah dalam UU/peraturan, misalnya “hubungan istimewa” dalam keterkaitan antara donatur dan penerima donasi, juga memerlukan penjelasan lebih baik untuk menghindarkan multi-interpretasi dan kebingungan di kalangan wajib pajak dan aparat otoritas pajak.
- Berbagai masalah insentif perpajakan tersebut, di satu sisi, menunjukkan implementasi kebijakan yang ‘setengah hati’; di sisi lain, mengindikasikan masalah kepercayaan (trust) pemerintah kepada baik lembaga dan pegiat nirlaba/filantropi maupun korporasi yang berdonasi. Komunitas filantropi perlu memikirkan bagaimana membangun suatu sistem atau skema untuk meningkatkan kredibilitasnya. Selain itu diharapkan dapat menawarkan konsep untuk mencegah penyalahgunaan insentif pajak oleh donatur perusahaan atau perseorangan.
- PFI diharapkan dapat mengkoordinasi upaya pemberian masukan dari komunitas filantropi kepada proses revisi UU Pajak Penghasilan.
Masukan diharapkan dilengkapi dengan naskah akademik yang memuat landasan pemikiran dan argumentasinya dari setiap masukan. Salah satu butir penting yang perlu disampaikan dalam naskah akademik tersebut adalah valuasi kuantitatif dari kontribusi sektor nirlaba terhadap pengentasan masalah-masalah sosial, lingkungan dan ekonomi.