Oktober 9, 2016
[Philanthropy Learning Forum] Generasi Millenial Ubah Peta Filantropi Indonesia
Dalam 5 tahun terakhir peran dan keterlibatan kaum muda dalam kegiatan filantropi meningkat secara signifikan. Sebagian mereka mendirikan yayasan atau organisasi berbasis komunitas untuk mengembangkan berbagai program sosial yang menjadi minat atau perhatiannya. Sebagian lainnya menjadi pendukung, volunteer dan donatur di berbagai organisasi sosial. Keterlibatan kaum muda dalam kegiatan filantropi ini merubah peta dan pola filantropi di Indonesia. Filantropi tak lagi identik dengan aktivitas kedermawanan “orang tua” atau “orang kaya” yang bisanya dilakukan di hari tua atau menjelang pensiun. Filantropi juga tidak lagi identik dengan kegiatan kedermawanan dalam bentuk pemberian donasi untuk kegiatan keagamaan, penanganan bencana, penyantunan dan pelayanan sosial.
Tren baru filantropi Indonesia ini tergambar dari paparan para pembicara PHILANTHROPY LEARNING FORUM 5 dengan tema “MILLENNIAL PHILANTHROPY: Muda, Peduli dan Membuat Perubahan” yang digelar Filantropi Indonesia bekerja sama dengan Pundi Amal SCTV di Jakarta (31/3/2016). Forum yang dihadiri oleh para pegiat filantropi tersebut menghadirkan 4 pembicara dari kalangan kaum muda yang mengembangkan lembaga dan
kegiatan filantropi, serta melibatkan anak muda sebagai donatur dan pendukungnya. Mereka adalah Vikra Ijas (Kitabisa.com). Marsya Anggia (Indo Relawan), Faye Simanjuntak (Rumah Faye) dan Reza S. Zaki (Rumah Imporium).
Direktur Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, menjelaskan bahwa generasi millennial adalah kelompok demografis yang lahir diantara tahun 1980-an sampai 2000-an dan saat in iberusia 15 – 34 tahun. Berbeda dengan kegiatan filantropi generasi sebelumnya, inisiatif sosial kemanusiaan dan pemberdayaan yang dilakukan kaum muda ini umumnya dilakukan melalui komunitas dengan memanfaatkan tekonologi informasi dan budaya pop. Selain menaruh perhatian pada penajaman dan kedalaman isu, para filantrop milenial yang berlatar belakang enterpreuneur, ahli IT, pekerja seni dan pegiat sosial ini juga berusaha untuk mengemas program filantropi agar terlihat lebih populer, menyenangkan serta mengandung aspek pemberdayaan ekonomi. Karena itu, seorang filantrop milenial banyak digambarkan sebagai seorang tech savvy, wirausahawan, berpendidikan dan berpikiran independen yang terdorong untuk “berbuat baik.”
Erna Witoelar, Ketua Badan Pengarah Filantropi Indonesia melihat peran generasi milenial dalam mengembangkan filantropi secara tidak langsung telah mengubah pola menyumbang yang selama ini identik dan terfokus pada dana. Berbeda dengan generasi sebelumnya, mereka tidak hanya sekedar ingin terlibat dalam kegiatan filantropi dengan memberikan donasi, tapi juga memanfaatkan potensi dan kapasitasnya untuk mengembangkan dan mempertajam inisiatif sosial yang dilakukan. Generasi millenial ini memperluas bentuk kontribusi atau sumbangannya menjadi 6 bentuk, yakni pengetahuan/keterampilan, waktu, voice (suara/aspirasi), jaringan, cinta (kinesthetic ability) dan dana. Dengan menggabungkan 6 bentuk pemberian itu, generasi millenial tidak hanya melihat filantropi sebagai kegiatan sosial, tapi sebagai investasi sosial yang berdampak luas dan berkelanjutan. Mereka juga memandang keterlibatannya dalam kegiatan filantropi sebagai investasi bagi pengembangan karakter dan kapasitasnya untuk menjadi pemimpin di masa mendatang.
Selain pemanfaatan teknologi informasi, salah satu ciri yang menonjol dari filantropi millenial adalah komunitas sebagai pendukung dan penggerak inisiatif dan gagasannya. Hasil penelitian awal PIRAC (Public Interest Researh and Advocacy Center) menggambarkan bahwa saat ini berbagai komunitas yang digerakkan para filantrop muda ini mulai berperan signifikan dalam pengembangkan filantropi di Indonesia. PIRAC mengidentifikasi lebih dari 99 organisasi komunitas yang secara khusus dibentuk dan dikembangkan untuk mengembangkan kegiatan filantropi. Inisiatif kegiatan filantropi ini umumnya digagas oleh perorangan atau komunitas tertentu dan dipromosikan melalui pemanfaatan media sosial (FB, twitter, instagram, dll) yang kemudian direspon dan didukung oleh masyarakat luas. Mereka bergerak dengan beragam program, mulai dari penyantunan, pelayanan sosial, penanganan bencana, pendidikan, kesehatan, pelestarian lingkungan sampai pemberdayaan ekonomi. Berbeda dengan organisasi sosial atau LSM, organisasi komunitas sebagian besar tidak berbadan hukum, struktur kepengurusan bersifat cair, bersifat interaktif dan mendorong keterlibatan masyarakat, khususnya kaum muda, dalam kegiatannya.