Januari 4, 2021
Potret Perilaku Berdonasi Masyarakat Indonesia Saat Pandemi
Jakarta – Meski secara umum perolehan donasi di sebagian besar lembaga turun karena dampak Pandemi COVID-19, tren donasi melalui platform digital justru mengalami peningkatan secara signifikan. Donatur millenial jadi salah satu donatur potensial yang menyalurkan sumbangan melalui platform figital. Berikut tren dan perilaku donasi online masyarakat Indonesia selama masa Pandemi COVID-19 yang disarikan dari Acara Philanthropy Learning Forum ‘Filantropi Digital di Indonesia: Prospek dan Tantangan Pengembangannya’ (17/12)
Peningkatan donasi digital yang terjadi setiap tahun diakui oleh platform galang dana (crowdfunding) dan lembaga filantropi di Indonesia. Hal ini semakin mengkonfirmasi bahwa perubahan kegiatan manusia ke ranah digital sudah merambah ke kegiatan sosial, yaitu berdonasi. Maraknya ajakan berdonasi melalui narasi-narasi humanis di media sosial mendorong orang untuk berdonasi melalui aplikasi digital yang bersifat cashless. Sehingga, tidak salah jika menyebut media sosial sebagai alat yang ampuh untuk memasarkan informasi tentang donasi.
Di penghujung tahun 2020, bersama Kopernik, GoPay meluncurkan sebuah penelitian yang menggambarkan ekosistem donasi digital di Indonesia. Penelitian berjudul ‘GoPay Digital Donation Outlook 2020’ ini mencoba untuk melihat motivasi orang berdonasi digital, platform daring yang digunakan, serta manfaat apa yang selama ini sudah dirasakan dari donasi digital. Hasilnya, generasi milenial lebih sering berdonasi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Isu kesehatan dan isu keadilan sosial masih menjadi isu yang paling banyak disumbang oleh donatur. Selain itu, di masa pandemi COVID-19 saat ini, tercatat, perolehan donasi digital meningkat sampai 72% dari sebelumnya. Transaksi donasi digital yang menggunakan GoPay naik 2 kali lipat selama pandemi.
Dengan temuan tersebut, Winny Triswandhani, Head of Corporate Communication GoPay, mengungkapkan bahwa GoPay semakin bersemangat untuk mengedukasi masyarakat untuk berdonasi digital. Harapannya, semakin banyak orang yang berdonasi digital agar sektor yang dapat disumbang terus berkembang.
Edukasi Berdonasi Digital
Walaupun demikian, pernyataan bahwa edukasi untuk berdonasi digital masih perlu ditingkatkan, terutama di luar kota besar di Indonesia, mendapat catatan dari Dr. Firman Kurniawan, akademisi UI sekaligus praktisi komunikasi digital dan marketing. Menurutnya, perlu ditegaskan bahwa edukasi berdonasi harus dibedakan dari cara-cara edukasi sebagaimana yang dimaksud dalam ‘market education’. Dalam pandangan praktik komunikasi pemasaran, market education banyak bertumpu pada Cognitive Dissonance Theory (salah satunya, membangkitkan ketidaknyamanan kognitif khalayak akibat disonansi). Pada praktik donasi, pembangkitan rasa peduli dan call to action untuk menyumbang yang dilandasi ketidaknyamanan kognitif harus diminimalisir. Eksploitasi rasa ketidaknyaman kognitif khalayak yang menjadi sasaran secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu, justru melahirkan kekebalan atau ketidakpedulian.
Kepedulian untuk berdonasi yang muncul secara ikhlas sebaiknya tidak dieksploitasi sehingga calon donatur tidak kebal. Semua harus kembali pada dasar utama donasi, yaitu ‘trust’ (kepercayaan). Trust dari donatur perlu dibentuk dan dijaga, namun tidak dieksploitasi. Sebagai gambaran, berawal dari ajakan berdonasi dari lembaga filantropi melalui komunikasi efektif bahwa saudara kita membutuhkan bantuan, lalu donasi diperantarai oleh perangkat/aplikasi digital, dan hasil perolehan donasi dikelola oleh lembaga filantropi yang kredibel (tidak semua orang bisa menjadi pengumpul donasi).
‘Hidden Solidarity’
Pada kesempatan yang sama, Hilman Latief, ketua badan pengurus LAZISMU, mengungkapkan bahwa perkembangan filantropi digital di Indonesia tidak lepas dari peranan kelas menengah perkotaan yang ada di Indonesia. Kohesi sosial antara masyarakat perkotaan dan pedesaan pada dasarnya berbeda. Di desa, banyak ruang dan kesempatan untuk berkegiatan sosial. Sedangkan, di kota sudah jarang. Kohesi sosial masyarakat perkotaan rendah karena tidak ada ruang interaksi yang kuat. Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada solidaritas di masyarakat perkotaan. Justru, di perkotaan, ada yang disebut sebagai ‘hidden solidarity’/’silent solidarity’ (solidaritas terselubung) yang bisa dieksplorasi.
Untuk mengeksplorasi silent solidarity masyarakat perkotaan, ranah digital bisa diciptakan sedemikian rupa. Misalnya dengan ajakan lembaga filantropi untuk terlibat dan berdonasi membantu sesama. Kehadiran platform digital yang memudahkan donasi dapat menstimulasi silent solidarity sehingga dapat terekspresikan. Di sisi lain, hal ini menjadi tantangan bagi lembaga filantropi untuk bisa menangkap peluang ini dengan ‘naik kelas’ ke level digital.
Selain silent solidarity, peluang lain yang dapat ditangkap dari kaum muda perkotaan adalah kecenderungan kaum muda yang sedikit secara nominal saat berdonasi namun banyak secara jumlah orang (kuantitas). Hal ini akan menguntungkan lembaga filantropi yang menggalang dana publik karena mendapat banyak donatur.
Solidaritas dan Identitas
Menambah hasil temuan GoPay, Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, mengungkapkan bahwa berdonasi, berderma, dan menyumbang, sebenarnya, tidak melulu terkait solidaritas tetapi juga terkait identitas personal atau kelompok yang ingin diakui di masyarakat.
Dalam Seven Faces of Philanthropy, sebuah tinjauan tentang motivasi orang berfilantropi, ada banyak motivasi orang untuk melakukan kegiatan sosial. Tujuh motivasi itu adalah the communitarian (doing good makes sense), the devout (doing good is God’s will), the investor (doing good is good business), the socialite (doing good is fun), the altruist (doing good feels right), the repayer (doing good in return), dan the dynast (doing good is family’s tradition).
Pada GoPay Digital Donation Outlook 2020, motivasi orang untuk berdonasi digital masih terlalu umum, seperti menyumbang karena diminta/dihubungi oleh lembaga filantropi. Padahal jika dikaitkan dengan tinjauan Seven Faces of Philanthropy, akan ada banyak detail yang terungkap. Misalnya, banyaknya kegiatan filantropi yang didasari komunitas atau hobi, seperti sedekah rombongan, komunitas berbagi nasi, sedekah buku, dan lain-lain.
Hal lain yang juga menjadi sorotannya adalah donasi melalui aplikasi digital membuat sumbangan lebih terorganisir. Bahkan, nantinya, bisa dibuatkan program yang terstruktur serta skema monitoring dan evaluasi yang jelas. Sehingga, filantropi juga turut berkembang meninggalkan pola-pola konvensional, yaitu dari yang semula loyal pada lembaga beralih ke kepedulian pada isu-isu sosial yang memang membutuhkan bantuan, dari direct giving ke penerima manfaat menjadi dikelola oleh lembaga filantropi sehingga lebih strategis dan jangka panjang.
Pandemi COVID-19 semakin menambah pembelajaran pada praktik-praktik filantropi di Indonesia. Peran donatur menjadi semakin luas, dari sekadar penyumbang uang/barang menjadi campaigner yang dapat memobilisasi orang lain untuk turut menyumbang. Filantropi media massa yang biasanya menonjol saat bencana alam beralih filantropi berbasis crowdfunding dan influencer. Strategi yang digunakan untuk menggalang bantuan (fundraising) juga semakin beragam. Di saat banyak orang yang bosan berdiam diri di rumah untuk menghindari virus COVID-19, inovasi justru banyak lahir. Sebut saja, konser musik via YouTube dan lelang daring untuk amal.
Jika semua donasi sudah serba digital, maka aspek keamanan data serta kode etik berdonasi harus menjadi perhatian utama bagi semua orang.
Riset GoPay Digital Donation Outlook 2020 dapat diakses di https://bit.ly/GOPAYDDO2020
Acara Philanthropy Learning Forum ‘Filantropi Digital di Indonesia: Prospek dan Tantangan Pengembangannya’ dapat disaksikan kembali di https://youtu.be/dOy5bPRBzEU