Oktober 31, 2024
Perhimpunan Filantropi Indonesia, Real Impact Advisors, dan The Hepatitis Fund Dorong Kolaborasi untuk Penguatan Kesehatan di Indonesia
Pada Selasa, 8 Oktober 2024, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), Real Impact Advisors (RIA), dan The Hepatitis Fund (THF) mengadakan acara bertajuk “Improving Community Health through Partnerships” di Mercure Sabang, Jakarta. Acara ini bertujuan untuk menyoroti tantangan yang dihadapi dalam upaya penyelesaian kesehatan, salah satunya eliminasi hepatitis di Indonesia, serta bagaimana kemitraan lintas sektor dapat mempercepat penanganannya.
Acara ini menghadirkan lima pembicara terkemuka yang membahas tantangan, solusi, serta potensi kolaborasi di bidang kesehatan. Diskusi panel dipandu oleh Benedetta Nirta, Wakil Direktur dan Manajer Penggalangan Dana dari THF, dengan partisipasi Dr. Momoe Takeuchi, Wakil Perwakilan WHO Indonesia; Atiek Anartati, Direktur Clinton Health Access Initiative; Dimas Purnama, Manajer Pengembangan Komunitas PT Amman Mineral; dan Claudius Mone, Ketua Dewan Pengurus Peduli Hati Bangsa.
Sebagai co-host, RIA dalam sambutannya menekankan pentingnya kemitraan dengan THF yang berfokus pada peningkatan kesadaran akan bahaya hepatitis di Asia. PFI sebagai sebuah asosiasi, memaparkan perannya sebagai platform yang bertujuan memperkuat ekosistem filantropi Indonesia melalui ko-kreasi, kolaborasi, dan aksi kolektif.
Dr. Ratna Lestari Habibah dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memulai sesi dengan memaparkan situasi terkini terkait hepatitis di Indonesia. Menurutnya, hepatitis B dan C merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan dengan perkiraan sekitar 6,6 juta penduduk hidup dengan Hepatitis B, dan 1 juta dengan Hepatitis C. Kondisi ini menyumbang hingga 100 kematian per hari. Meskipun ada beberapa kemajuan, seperti pengobatan yang kini ditanggung oleh BPJS Kesehatan, eliminasi hepatitis masih membutuhkan banyak langkah strategis.
Benedetta Nirta dari THF menyoroti bahwa meskipun upaya pencegahan, pengobatan, dan bahkan penyembuhan sudah tersedia dan terjangkau, Indonesia tetap menjadi negara dengan prevalensi hepatitis tertinggi ketiga di dunia. Tantangan utamanya adalah proyeksi eliminasi hepatitis yang diperkirakan baru akan tercapai pada 2051, jauh melampaui target global WHO tahun 2030. Hepatitis tidak hanya merupakan masalah kesehatan serius, tetapi juga ancaman ekonomi, mengingat penyakit ini menyerang kelompok usia produktif.
Para panelis mengidentifikasi sejumlah kendala utama yang menyebabkan hepatitis masih diabaikan, di antaranya kompleksitas penyakit ini yang sering kali berhubungan dengan masalah kesehatan lain, kurangnya kesadaran dan stigma yang membatasi penerimaan pengobatan, serta keterbatasan akses layanan kesehatan terutama di daerah terpencil. Selain itu, sumber daya manusia di bidang kesehatan yang belum memiliki kapasitas memadai untuk mendiagnosis dan menangani penyakit ini menjadi tantangan tersendiri.
Dimas Purnama menambahkan bahwa infrastruktur kesehatan yang ada belum dilengkapi dengan sistem data yang memadai untuk pelaporan dan pemantauan yang komprehensif. Selain itu, alokasi anggaran untuk hepatitis di tingkat nasional masih sangat rendah, hanya sekitar $1,2 juta per tahun, jauh lebih kecil dibandingkan alokasi untuk penyakit menular lainnya.
Para panelis mengusulkan berbagai strategi untuk mengatasi tantangan ini, seperti peningkatan kapasitas para pemimpin lokal dan tenaga kesehatan di komunitas, desentralisasi layanan kesehatan agar lebih dekat dengan masyarakat, serta integrasi layanan kesehatan yang lebih holistik untuk mengatasi berbagai penyakit sekaligus, seperti rekomendasi WHO untuk eliminasi gabungan hepatitis, HIV, dan sifilis. Mereka juga menekankan pentingnya analisis biaya-manfaat untuk membantu pemerintah dalam membuat kebijakan yang lebih tepat sasaran dalam alokasi anggaran kesehatan.
Acara ditutup dengan seruan akan pentingnya kolaborasi antara sektor filantropi dan swasta untuk mempercepat eliminasi hepatitis. Para pembicara menekankan bahwa setiap mitra memiliki sumber daya dan kapasitas masing-masing yang, jika digabungkan, dapat menghasilkan pendekatan yang lebih efektif. Kolaborasi lintas sektor, seperti yang ditunjukkan oleh kemitraan RIA dan THF, diharapkan dapat menjadi model bagi program-program hepatitis di masa depan untuk diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan nasional.
Diskusi ini juga mendorong kelanjutan percakapan tentang perbaikan kesehatan masyarakat, terutama dalam konteks rencana jangka menengah sektor kesehatan yang akan datang dari Kementerian Kesehatan. Diharapkan hepatitis akan menjadi prioritas dalam rencana tersebut, guna menjaga momentum dan memberikan dampak yang lebih signifikan dalam menanggulangi penyakit yang sering diabaikan ini.