Januari 31, 2024
Pertemuan Refleksi Dinamika Pengelolaan Program Pendidikan di Indonesia
Pendidikan merupakan sektor yang cukup sering mendapat perhatian lebih dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan komunitas global. Dan potensi filantropi untuk pendidikan diperkirakan sebesar 180 miliar rupiah per tahun dengan tiga program paling popular, yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia pendidikan, beasiswa, dan infrastruktur. Sedangkan pada tataran global, sektor ini juga mendapatkan perhatian khusus melalui Sustainable Development Goal atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG/TPB) pada tujuan-4 (SDG #4) yang menetapkan dukungan pada pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara serta kesempatan belajar seumur hidup bagi semua.
Kolaborasi antar sesama pegiat pendidikan bisa memperbesar dampak ketika komponen-komponen di dalam ekosistem pendidikan dikelola secara bersama dan dikoordinasikan secara terstruktur dan baik antara sesama pemangku kepentingan sehingga tidak ada usaha yang tumpang tindih. Klaster Filantropi Pendidikan (KFP) kemudian dibentuk untuk melanjutkan dan memperkuat inisiatif dan wadah yang telah ada. Pembentukan KFP juga merupakan upaya untuk melakukan kolaborasi dan kerja sama dalam menuntaskan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam bidang pendidikan.
KFP berperan sebagai fasilitator bagi para pendukung pendidikan agar dapat bekerja secara sinergis, mencapai dampak yang lebih efektif, dan menjangkau lebih banyak area dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, terutama menghadapi tantangan sektor pendidikan pada tahun 2024. Klaster ini telah melakukan berbagai upaya dan mencapai beberapa keberhasilan pada tahun 2023. Namun, dalam pencapaian tersebut, terdapat ruang yang cukup besar untuk melakukan evaluasi diri secara terbuka dan mendalam, sebagai dasar untuk meningkatkan kapasitas organisasi dan ekosistem pendidikan kita. Kami memahami bahwa untuk mewujudkan perubahan pendidikan yang lebih mendasar, diperlukan kesadaran bersama tentang perlunya perubahan tersebut. Hal ini tentunya hanya bisa tercapai melalui komunikasi dan kolaborasi yang lebih intens dan terbuka antar organisasi yang tergabung dalam Klaster Filantropi Pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut Yayasan Guru Belajar selaku Koordinator Klaster Filantropi Pendidikan (KFP) berinisiatif melakukan kegiatan ‘Refleksi Klaster Filantropi Pendidikan’ yang merupakan tindak lanjut dari surat refleksi yang dibagikan oleh Yayasan Guru Belajar awal bulan Januari 2024 sebagai bentuk refleksi bersama. Ada tiga point yang di highlight terkait gejala yang sering muncul dalam dinamika pengelolaan program pendidikan di Indonesia, yaitu Micromanaging, Sunk Cost Fallacy, dan Fokus Diri yang berlebih. Hal ini menarik bahwa ternyata ketiga hal ini dirasakan juga oleh teman-teman pegiat pendidikan lainnya.
Refleksi Klaster Filantropi Pendidikan dihadiri oleh sepuluh peserta yang hadir secara luring di Neighborwork Gondangdia, Jakarta Pusat. Dalam sambutannya, Ridho Fathullah, sebagai perwakilan dari tim Program Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), menyatakan bahwa PFI secara konsisten mendorong terbentuknya kolaborasi dan ko-kreasi. Melalui kegiatan refleksi ini, diharapkan dapat diidentifikasi tantangan-tantangan di bidang pendidikan untuk tahun 2024, yang diharapkan bisa diatasi secara bersama-sama melalui kerja sama.
Najelaa Shihab, pendiri Yayasan Guru Belajar, menekankan pentingnya kesadaran untuk memahami peran dan tanggung jawab masing-masing pelaku filantropi, khususnya di sektor pendidikan. Tujuannya adalah mendorong kolaborasi yang efektif antar berbagai pemangku kepentingan, guna menciptakan perubahan yang sistematis dalam ekosistem filantropi pendidikan.
Dalam forum refleksi ini, anggota Klaster Filantropi Pendidikan, seperti M. Shirli Gumilang dari Supervisor Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa, memberikan masukan bahwa fokus pendidikan saat ini mungkin terlalu condong pada aspek formal. Dompet Dhuafa mengusulkan agar pendidikan di Indonesia tidak hanya terbatas pada sektor formal, tetapi juga memperhatikan sektor nonformal yang sering kali terabaikan baik dari segi perundangan maupun kebijakan. Hal ini diharapkan dapat menjadi fokus bersama agar semua pihak, termasuk mereka di sektor nonformal, dapat merasakan hak mendapatkan pendidikan yang layak.
Sari Wijaya, Gender Responsive Inclusive in Public Service Programme Officer YAPPIKA, menekankan pentingnya wacana pendidikan sebagai isu krusial yang perlu dibahas oleh pemimpin dari tingkat pusat hingga daerah. Ia menyoroti beberapa permasalahan, seperti infrastruktur, akuntabilitas, keberadaan satuan tugas pelecehan di sekolah, dan tantangan literasi nasional yang mungkin tidak merata di berbagai daerah.
Perhimpunan Filantropi Indonesia menyadari tantangan besar di bidang pendidikan ke depannya dan berkomitmen untuk mendorong setiap anggotanya bersatu dalam mengatasi tantangan tersebut. Komitmen tersebut melibatkan penguatan komunikasi dan kolaborasi yang lebih intensif, dengan tujuan menghindari gejala-gejala negatif yang dapat muncul dalam ekosistem pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan bersama-sama dapat membangun sistem pendidikan yang lebih baik untuk Indonesia.