Lembaga filantropi di Indonesia telah menyelaraskan pekerjaannya dengan isu-isu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk penyebab lingkungan dan perubahan iklim. Namun, peran mereka dalam kegiatan iklim dianggap stagnan dalam beberapa tahun terakhir karena meningkatnya fokus mereka pada pendidikan dan pemberdayaan ekonomi.
Survei terbaru terhadap 224 organisasi filantropi oleh Filantropi Indonesia menunjukkan bahwa 89 dan 54 organisasi filantropi di Indonesia berfokus pada program pendidikan dan pemberdayaan ekonomi (masing-masing sekitar 40% dan 24% dari total organisasi). Di sisi lain, hanya 42 dari organisasi ini (sekitar 19% dari total organisasi) yang berfokus pada iklim dan lingkungan.
Pekerjaan lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan dampak filantropi di Indonesia untuk mengatasi masalah perubahan iklim, tidak hanya untuk mengatasi perubahan iklim itu sendiri tetapi juga untuk mengamankan investasi dalam program prioritas lainnya. Salah satu aspek penting adalah meningkatkan pengetahuan lembaga-lembaga tersebut tentang urgensi perubahan iklim untuk mengalihkan pandangan mereka tentang pentingnya program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tidak kalah penting, adalah bagaimana mengarusutamakan perubahan iklim untuk meningkatkan ketahanan program-program yang telah ada terhadap dampak perubahan iklim.
Dengan latar belakang tersebut, Perhimpunan Filantropi Indonesia berkolaborasi bersama dengan Climateworks Centre dan Belantara Foundation di bawah Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi (KFLHK) mengembangkan serial kegiatan luring melalui program “Seri Pengetahuan Perubahan Iklim” terkait pengetahuan dasar seputar perubahan iklim, kebijakan yang mendukung, serta relevansinya dengan pekerjaan filantropi yang ada sebagai langkah awal untuk mendesain program KFLHK.
Di tanggal 2 November 2022, dimulainya sesi pertama dengan topik “Memahami Risiko Perubahan Iklim dan Pengarusutamaannya“. Dalam sesi ini dijelaskan bahwa perubahan iklim membawa tantangan dan resiko kepada seluruh aspek kehidupan. Dari sisi tantangan, ada dua tantangan yang dihadapi, yaitu tantangan transisi dan fisik. Tantangan transisi meliputi kebijakan dan hukum, teknologi, pasar, dan reputasi. Di sisi lain, terdapat tantangan fisik terkait dengan dampak yang terjadi dalam kondisi akut atau kronis. Namun di sisi lain, perubahan iklim nyatanya juga memberikan peluang dalam hal efisiensi sumber daya, sumber energi, produk/layanan, pasar, dan ketahanan untuk terus berkembang dan adaptasi terhadap perubahan tersebut.
Pertemuan luring kedua kemudian dilaksanakan pada tanggal 22 November 2022 dengan topik “Studi Kasus: Merespon Resiko dan Dampak Perubahan Iklim Melalui Program Berbasis Komunitas”. Sesi kali ini berfokus untuk melihat bagaimana lembaga filantropi yang tidak memiliki spesifik isu terhadap perubahan iklim secara perlahan mulai menyadari pentingnya aksi iklim. Susanto Samsudin, Presiden Habitat for Humanity Indonesia hadir sebagai narasumber tamu untuk berbagi cerita mengenai bagaimana organisasinya mulai menyelaraskan aksinya dengan perubahan iklim, salah satunya melalui insiatif Climate Smart Housing. Climate Smart Housing adalah upaya kolaboratif untuk mitigasi dan adaptasi atas perubahan iklim untuk berkomitmen secara nyata dalam menginisiasi model ekonomi sirkular melalui penyediaan dan pembangunan yang ramah lingkungan.
Memasuki Decades of Action, aksi kolektif penting sekali menjadi penggerak motor antar pemangku kepentingan untuk saling melengkapi sumber daya masing-masing dan mengakselerasi pencapaian agenda bersama terkait perubahan iklim. Filantropi memiliki peran penting untuk terlibat lebih dalam untuk mendukung agenda perubahan iklim melalui inisiatif, semangat gotong royong, dan pendekatan yang variatif. Melalui KFLHK, PFI mendorong terciptanya aksi kolektif antar anggota PFI dan jaringannya agar menciptakan dampak yang luas dengan mengoptimalisasi platfrom-platform kerjasama dan jaringan yang sudah ada.