Dalam rangka mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) terkait waste management yang berdampak dan berkontribusi terhadap agenda perubahan iklim. Pengelolaan sampah dengan tata kelola yang baik dapat berkontribusi terhadap terciptanya lingkungan yang bersih, pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan peningkatan kesejahteraan dengan berbagai pendekatan.
Namun dalam hal pengelolaan sampah nyatanya tidak cukup didukung oleh teknologi, sarana dan prasarana serta dana yang memadai, tetapi yang lebih penting adalah partisipasi seluruh pemangku kepentingan serta masyarakat secara langsung atau tidak langsung. Lembaga filantropi dan perusahaan memiliki peran dan peluang yang besar dalam mendukung hal ini. Berdasarkan Indonesia Philanthropy Outlook 2022, tercatat bahwa Iklim dan Lingkungan Hidup menjadi program urutan nomor tiga terbanyak dilakukan oleh pegiat filantropi sebesar 18,8%. Perusahaan juga kini mendorong agar terimplementasinya keberlanjutan dalam seluruh elemen bisnis proses.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) dan Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi (KLFHK) menyelenggarakan Philanthropy Sharing Session (PSS) ke-35 dengan tema ”Peran Filantropi dan Bisnis dalam Waste Management untuk Planet yang Berkelanjutan” yang berkolaborasi bersama para anggota, yaitu Wahana Visi Indonesia, Common Seas Indonesia, Yayasan Karya Salemba Empat, dan Greeneration Foundation. Dalam kegiatan tersebut, juga hadir tamu undangan dari Danone Indonesia. Adapun PSS kali ini, para peserta dan panelis membahas terkait isu lingkungan, tentang bagaimana pengelolaan sampah di Indonesia dan seperti apa dampak yang dihasilkan untuk menangani permasalahan tersebut demi tercapainya TPB/SDGs untuk planet yang berkelanjutan.
Kegiatan ini diikuti sebanyak 180 tamu undangan yang hadir secara offline maupun online dari anggota dan jaringan PFI. Dalam kata sambutannya, Direktur Eksekutif Belantara Foundation sekaligus Koordinator Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi (KFLHK), Dolly Priatna, menyampaikan bahwa “UNEP (United Nations Environment Programme) telah membuat kajian dan memperkirakan bahwa di tahun 2040, akan ada 29 juta ton sampah plastik yang masuk ke ekosistem perairan dunia; di mana sampah ini sebagian besar dari polusi di darat yang terbawa ke perairan. Data Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) juga telah menghitung bahwa di tahun 2022, terdapat 68,5 juta ton sampah, dengan besaran sekitar 18,5%-nya merupakan sampah plastik yang disebabkan. Adanya pergeseran pola hidup yang bergantung dengan plastik kemasan sekali pakai dari sebuah produk makanan atau minuman”. Dolly menyimpulkan, diperlukan sinergi dan kolaborasi multipihak dalam mengakselerasi permasalahan sampah plastik demi menciptakan planet yang berkelanjutan.
Putu Sari, Packaging Circularity Business Manager Danone Indonesia, menjelaskan “Berdasarkan riset National Plastic Action Partnership (NPAP), hasil sampah plastik di Indonesia mencapai 4,8 juta ton per tahun dan hanya 10% yang bisa masuk ke proses daur ulang. Di Indonesia sendiri, sudah ada regulasi yang harus dipatuhi oleh pihak swasta, contohnya kami sebagai produsen. Salah satunya pada Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 terbaru, mewajibkan produsen manufaktur plastik dan food services untuk membuat peta jalan; bagaimana mengurangi sampahnya sampai 30% di 2029.” Putu menambahkan bahwa faktanya Danone Indonesia secara internal sudah memiliki komitmen yang diberi nama “Bijak Berplastik”, yang terdiri dari 3 pilar; pilar pengumpulan, pilar edukasi, dan pilar inovasi sejak tahun 1983. Imbuhnya, Danone Indonesia sudah memperkenalkan Reuseble Water Galon dan sudah memulai Aqua Peduli Programme, di mana Danone Indonesia memberdayakan pemulung jauh sebelum adanya peraturan Permen LHK tersebut.
Darurat sampah plastik juga mendorong Common Seas Indonesia untuk lebih fokus ke pengelolaan yang lebih baik, khususnya pada sampah popok sekali pakai yang tidak dapat terurai dengan mudah. Celia Siura, Chief Operating Officer Common Seas Indonesia mengungkapkan, Indonesia merupakan negara kedua penghasil sampah plastik di dunia. “Sungguh memprihatinkan, dan parahnya lagi, pada Provinsi Jawa Timur, 50% dari sampah yang ditemukan di Sungai Brantas ialah sampah popok sekali pakai. Sekitar 1,5 juta sampah popok masuk ke Sungai Brantas setiap hari; artinya 500 juta popok masuk ke Sungai Brantas setiap tahunnya.” Ironisnya menurut Celia, 98% sumber air untuk masyarakat Jawa Timur disokong dari Sungai Brantas ini, sehingga masyarakat sekitar memiliki resiko menelan microplastik dari popok sekali pakai. Oleh karena itu, Common Seas Indonesia memberikan solusi dengan berinovasi menciptakan popok yang bisa dipakai terus menerus sehingga memberikan dampak sosial dan ekonomi untuk masyarakat sekitar Sungai Brantas.
Hengky Poerwowidagdo, Secretary & Chief Operating Officer Yayasan Karya Salemba Empat, menambahkan “Dalam hal pengelolaan sampah kami dari Yayasan Karya Salemba Empat menggunakan metode circular economy dengan menerapkan konsep prinsip 5R (Reduce, Reuse, Recycle, Recovery, dan Repair). Dalam alur lingkaran tertutup, di mana kita berusaha untuk menggunakan sumber daya bahan baku maupun produk jadi yang bisa dipakai ulang untuk selama mungkin, dan menghasilkan sampah atau limbah seminimal mungkin. Kami juga telah mengembangkan teknologi yang dapat merubah sampah plastik menjadi bahan bakar solar dan diterapkan kepada nelayan, tak hanya itu bukan hanya pengelolaan sampah anorganik, kami juga mengelola organik seperti maggot, juga pakan ternak dengan eceng gondok”.
Kolaborasi dan semangat untuk memecahkan masalah sampah plastik butuh koordinasi yang lebih aktif. Dikatakan oleh Erdy Suryadarma, Director of Product & Partnership Greeneration Foundation, partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sangat dibutuhkan. Implementasinya dapat melalui platform dukungan yang khusus menangani lingkungan. “Saat ini, salah satu inovasi yang sedang kami jalankan ialah Green Fund Digital Philantrophy, yang didasari oleh perubahan iklim dan kerusakaan lingkungan itu speednya cukup cepat dan solusi atas permasalahan perubahan iklim tidak bisa mengejar. Oleh karena itu, kami memembuat platform digital yang diprakarsai oleh Greeneration Foundation yang membantu masyarakat untuk berkontribusi menyelesaikan permasalahan lingkungan dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan berdonasi hanya Rp10.000/bulan. Dana donasi yang terkumpul akan disalurkan ke berbagai komunitas lokal, inisiatif, dan kampanye mitra lokal yang khusus bergerak dalam penyelesaian permasalahan kerusakan lingkungan.”, ujar Erdy.
Para narasumber dari perwakilan masing-masing lembaga dan organisasi yang hadir sepakat untuk mendorong kolaborasi untuk menangani permasalah sampah. Peluang dan berbagai kontribusi yang dapat diberikan melalui visi dan target masing-masing pihak, pastinya akan memberikan dampak positif yang luar biasa untuk lingkungan. Peluang kolaborasi ini bisa dimulai dari network atau jaringan PFI yang cukup besar juga dengan stakeholder terkait. Tidak terkecuali Klaster Filantrropi Lingkungan Hidup dan Konservasi (KFLHK), hadir untuk memfasilitasi berbagai inisiatif kolaborasi antar anggota untuk mengimplementasikan setiap gagasan dan untuk secara gotongroyong menangani masalah lingkungan dan krisis iklim. Tujuannya, agar memberikan dampak dan berkontribusi terhadap terciptanya kelestarian lingkungan, pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan peningkatan kesejahteraan bagi makhluk hidup.
Saksikan rekaman acaranya pada tautan di bawah atau melalui YouTube Filantropi Indonesia.