Bogor, PFI – Indonesia sudah memasuki tahun ke-7 pelaksanaan mandat Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebagai perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs), sebagai wujud komitmen Indonesia atas pelaksanaan TPB/SDGs hingga tahun 2030.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Bappenas, pada tahun 2021 dari capaian 222 indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) yang telah tercapai 63%. Perlu adanya dorongan upaya yang lebih kuat dalam memastikan Indonesia dapat mencapai seluruh target SDGs pada tahun 2030. Pada tingkat global, diperkirakan masih terdapat kekurangan pendanaan SDGs sebesar USD 2,5 Trilliun setiap tahunnya untuk negara-negara berkembang agar mencapai SDGs. Menyadari bahwa pendanaan dari pemerintah saja tidak cukup, diperlukan inovasi baru untuk menambah ruang fiskal dalam pencapaian SDGs. Potensi pendanaan dari sektor non-pemerintah cukup besar sehingga perlu dikolaborasikan dan diselaraskan dengan target yang ada.
Dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pencapaian TPB/SDGs yang merupakan perubahan dari Perpres Nomor 59 Tahun 2017, maka dimandatkan adanya Peraturan Menteri (Permen) PPN terkait Pendanaan Inovatif. Mendiskusikan hal ini, Bappenas telah menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan judul ‘Penyempurnaan Rancangan Peraturan Menteri PPN tentang Pendanaan Inovatif’ pada 22 Agustus 2023, dengan mengundang beberapa pemangku kepentingan, salah satunya dari sektor filantropi yang diwakili Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI). Saat ini, pelaksanaan SDGs telah memasuki decade of action (dekade aksi), di mana keterlibatan dan aksi nyata dari semua pihak untuk percepatan pencapaian SDGs sampai 2030 sangat dibutuhkan.
PFI diwakili oleh Gusman Yahya, Direktur Eksekutif PFI, bergabung sebagai salah satu panelis pada sesi ‘Peran Filantropi dan Pengalaman Blended Financing’. Pada paparannya, Gusman menjelaskan mengenai peran PFI memobilisasi pendanaan filantropi untuk akselerasi SDGs. PFI hadir sebagai platform utama bagi para filantropis dan thought leaders yang kredibel untuk memperkuat ekosistem filantropi di Indonesia. Hingga saat ini, PFI telah memiliki lebih dari 160 anggota individu, organisasi nirlaba dan perusahaan.
PFI mendukung akselerasi pencapaian SDGs dengan mendorong para pelaku filantropi untuk mengarusutamakan dan menyelaraskan program-programnya dengan SDGs, serta peningkatan kapasitas lembaganya. PFI juga mendorong adanya pengembangan studi kasus, riset dan policy brief sebagai referensi pemangku kepentingan terkait pencapaian SDGs.
Adapun berbagai program yang sudah dijalankan, termasuk pada sektor pendidikan, pemberdayaan ekonomi, iklim dan lingkungan hidup, advokasi, kesehatan, bantuan aktivitas keagamaan, santunan/bantuan langsung, gender, kesejahteraan anak, penguatan pangan, bantuan bencana, seni, penyediaan fasilitas umum dan penyediaan air bersih dan fasilitasnya.
PFI telah memetakan pendanaan filantropi yang mereka koordinasikan, dan melalui investasi, pendanaan filantropi dapat menjadi katalis untuk memikat dan memungkinkan investasi pada sektor swasta sebagai de-risking. Tantangan utama pemanfaatan pendanaan filantropi saat ini adalah dari sisi regulasi, yaitu peraturan perundangan terkait Pengumpulan Uang dan Barang yang sudah perlu diperbaharui, serta peraturan mengenai Insentif Pajak yang dipermudah.