Agustus 29, 2023
Insentif Pajak untuk Kegiatan Filantropi dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Kebijakan insentif perpajakan merupakan salah satu instrumen penting dalam mendorong perkembangan sektor filantropi dan nirlaba di berbagai negara. Kebijakan ini diterapkan dalam rangka mendukung dan mengapresiasi lembaga filantropi dan donatur yang telah bergotong-royong membantu pemerintah dalam menyediakan layanan sosial serta mencapai agenda prioritas pembangunan lainnya. Dalam implementasinya, mengutip dari jurnal Tax Incentives for Indonesian Philanthropy, disebutkan bahwa kebijakan perpajakan saat ini belum selaras dengan perkembangan pesat kegiatan yang semakin bervariasi.
Di sisi lain, perkembangan dan pertumbuhan filantropi cukup signifikan sehingga masih belum meratanya pengetahuan menegai kebijakan insentif pajak ini sehingga belum dapat memanfaatkan secara optimal. Penguatan ekosistem ini juga perlu dilakukan dengan memperkuat pengetahuan dan kapasitas lembaga filantropi mengenai hal tersebut. Perlu adanya panduan lebih mendetail dan dapat diakses secara terbuka mengenai prosedur mekanisme untuk mendapatkan insentif pajak serta ketentuan hubungan antara pemberi dan penerima sumbangan. Administrasi pajak juga kerap ditemukan memberikan tantangan tambahan dalam implementasinya.
Untuk mendiskusikan hal tersebut, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) berkolaborasi bersama Yayasan Tahija menginisiasi workshop dengan topik “Insentif Pajak untuk Kegiatan Filantropi dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia” pada 15 Agustus 2023 lalu yang ditujukan khusus kepada lembaga filantropi keluarga dan perusahaan untuk dapat mengoptimalkan kebijakan insentif pajak. Kegiatan ini dibuka dengan kata sambutan dari Gusman Yahya, Direktur Eksekutif PFI, yang menjelaskan bahwa “sektor filantropi perlu memiliki enabling environment untuk menciptakan ekosistem filantropi yang kuat. Hal ini yang dilakukan oleh PFI melalui penguatan kapasitas, akuntabilitas, transparansi, pengembangan jaringan antara sesama anggota dan pemangku kepentingan, serta mendorong kerangka kebijakan yang mendukung kedermawanan agar dapat mengakselerasi agenda-agenda prioritas pembangunan”.
Gusman menambahkan pula bahwa kebijakan insentif pajak merupakan salah satu instrumen yang dapat mendorong mobilisasi sumber daya aktor non-pemerintah, yaitu swasta dan filantropi, dalam mendukung agenda pembanguan berkelanjutan, termasuk pencapaian SDGs (Sustainable Development Goals). Sayangnya, masih belum familiar oleh pegiat filantropi mengenai maksud, tujuan, serta pemanfaatan kebijakan insentif pajak yang ada. PFI hadir untuk memfasilitasi koordinasi, sosialisasi, dan edukasi mengenai hal tersebut. Selain pemahaman dan edukasi terhadap kerangka kebijakan yang ada, PFI juga melihat penting bagi filantropi dan pemerintah dapat mengeksplorasi pengembangan inovasi kebijakan insentif pajak yang telah ada dan terbaru agar dapat diperkuat sebagai katalis dalam mendorong kontribusi terhadap agenda pembangunan.
Direktur Yayasan Tahija, Trihadi Saptoadi, juga menambahkan dalam kata sambutannya, “Budaya memberi (culture giving) kita membawa Indonesia menjadi negara paling dermawan berdasarkan World Giving Index 2022. Sebuah pencapaian yang baik namun di satu sisi budaya ini harus didukung oleh tata kelola, akuntabilitas, dan transparansi yang kuat agar dapat memberikan sebuah dampak yang terukur”.
Lainnya, hadirnya ESG (Environmental, social, and corporate governance) mendorong segala kegiatan dapat diukur sehingga ESG mendorong tumbuhnya rasa disiplin para pegiat filantropi agar memastikan hal tersebut. Kedua faktor ini erat kaitannya dengan yayasan keluarga dan yayasan perusahaan. Para pegiat filantropi ini mempunyai tantangan tersendiri karena dibentuk dari keluarga bisnis yang seringkali memiliki mindset korporasi. Dimana dalam satu sisi ini memberikan dampak positif akan disiplin membuat dampak yang terukur, sedangkan di satu sisi lainnya apa yang dilakukan karena bersifat sosial belum dapat mengoptimalkan fasilitas dari pemerintah, salah satunya insentif pajak.
Dalam pembukaan sesi diskusi, Bawono Kristiaji, Direktur DDTC Fiscal Research & Advisory, mengutip dari Laporan Belanja Perpajakan 2021 yang rutin dikeluarkan oleh Kemenkeu terkait PPh Badan 2021 sisa lebih organisasi nirlaba bidang pendidikan atau litbang dimanfaatkan sebesar 1,3 T. Sedangkan organisasi sosial keagamaan sebesar 10 M, sumbangan COVID-19 yang dapat dibebankan mencapai 4,5 T. Dari PPN dan PPN tidak dipungut atas impor barang untuk kegiatan amal dan sosial bencana alam bisa mencapai 16 Miliar dan penanganan COVID-19 hingga 4,4 Triliun. Ini menggambarkan bahwa dalam konteks pembangunan pemerintah tidak dapat bergerak sendiri sehingga perlu adanya dorongan dan kontribusi dari non-pemerintah, misalnya swasta atau pihak-pihak yang memiliki kewewenangan, termasuk filantropi.
Akademisi Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Dr. Ning Rahayu, dalam paparannya “Insentif pajak yang diberikan kepada lembaga filantropi dalam dua bentuk, yaitu Super Tax Deduction atas penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan SDM berbasis kompetensi tertentu dan Pengecualian Pajak (Tax Exemption) atas surplus yang diterima atau diperoleh lembaga sosial dan/atau lembaga keagamaan sepanjang suplus tersebut dipergunakan untuk membiayai sarana dan prasarana sosial selama kurun waktu empat tahun”.
Kebijakan pemberian Super Tax Deduction merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk mewujudkan SDGs pada tujuan ke 4 (Pendidikan Berkualitas), tujuan ke 8 (Pekerjaan Layak), dan tujuan ke 10 (Penurunan Kesenjangan Sosial). Namun, saat ini insentif pajak yang diberikan pada filantropi di Indonesia masih sangat terbatas, yakni hanya pada sektor-sektor tertentu saja.
Insentif pajak yang diberikan kepada lembaga filantropi di Indonesia masih sangat terbatas dan bersifat parsial, sehingga hal ini merupakan hambatan bagi pengembangan peran filantropi di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen untuk mencapai tujuan-tujuan SDGs juga diharapkan memiliki kebijakan insentif pajak yang komprehensif dan terbuka luas, khususnya sektor-sektor yang perlu mendapat perhatian khusus untuk pengembangan industri filantropi ke depannya. Lembaga filantropi bersama pemerintah dapat saling bekerja sama untuk pencapaian tujuan-tujuan SDGs tersebut.
“Terkait super tax deduction, kami juga melakukan koordinasi dengan banyak pihak. Walaupun kami sadari bahwa sosialisasi belum maksimal, namun kami berkerjasama dengan Kemenko PMK dan Kemendikbudristek. Bersama-sama kami telah mengeluarkan Buku Saku Super Tax Deduction pada tahun 2020 lalu”, ucap Inge Diana Rismawanti selaku Kepala Subdit Penyuluhan Pajak Direktorat P2Humas DJP.
Dwi Setyobudi, Kepala Seksi Peraturan PPh Badan II Direktorat Perpajakan II Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menyebutkan terjadi peningkatan pelaporan wajib pajak bagi badan dan orang pribadi sepanjang tahun 2020-2021. Tahun 2022 masih dinamis karena berbagai kondisi seperti SPT Tahunan mengalami penundaan dan sebagainya karena seluruh penghasilan adalah objek pajak.
Aspek perpajakan filantropi mengacu kepada PMK 128/2019, PMK 153/2020, dan PP 12/2023. Diperjelaskan kembali bahwa dari sisi penerima tidak menjadi objek pajak, dikecualikan objek pajak seperti bantuan, infaq, zakat, beasiswa, sedekah, sumbangan keagamaan, pendidikan, sisa lebih sosial keagamaan, dan pendidikan. Adapun biaya perlakuan sumbangan pembangunan infrastruktur sosial dikurangkan bagi pemberi namun melalui lembaga. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan dengan adanya tata kelola. Prinsip sisa lebih seperti deviden, yaitu tidak dipajaki. DJP telah merelaksasikan pula terkait dana pendidikan abadi dimana tidak dinyatakan dalam Undang-Undang, namun diatur dalam PMK. Bantuan sumbangan hibah dapat dikurangkan sepanjang tidak ada hubungan istimewa.
Kegiatan workshop ini kemudian dilanjutkan dengan paparan Perlakuan Perpajakan atas Kegiatan Filantropi oleh P2Humas KPDJP. Adapun sumbangan yang dimaksud dalam rangka penanggulangan bencana nasional, litbang, fasilitas pendidikan, pembinaan olahraga, dan pembangunan infrastruktur sosial. Pada sesi ini P2Humas menjelaskan lebih detail mengenai tata cara pengurangan, kriteria, hingga tata cara pelaporan.
Sebagai sebuah asosiasi, PFI berkomitmen untuk terus memfasilitasi kegiatan sosisliasai dan edukasi untuk memperkuat pengetahuan dan pemahaman pegiat filantropi terkait kebijakan perpajakan yang relevan secara berkesinambungan. PFI juga berkomitmen untuk terus membangun komunikasi dengan DJP untuk mendorong sektor filantropi agar kegiatannya dapat memberikan dampak serta mempercepat pencapaian di Indonesia.
Materi terkait workshop ini dapat dipelajari lebih lanjut melalui: https://bit.ly/insentifpajak-referensi