Masa perkembangan anak usia dini (1000 HPK) sering disebut sebagai periode emas dalam pembentukan kecerdasan dasar mereka. Kesehatan anak usia dini sangat dipengaruhi ketersediaan sanitasi yang sehat di lingkungan keluarga, misalnya memastikan keluarga memiliki jamban ataupun akses terhadap air bersih. Ketersediaan sanitasi yang baik atau layak, juga didukung kebiasaan berperilaku hidup bersih dan sehat, akan mencegah anak terserang berbagai penyakit berulang yang dapat menghambat tumbuh kembang anak.
Pemenuhan standar emas pemberian makan bayi dan anak (PMBA), stimulasi perkembangan, dan sanitasi yang baik sangat mempengaruhi perkembangan anak usia dini, namun di banyak situasi belum banyak dipahami oleh masyarakat umum. Mengacu pada isu ini, tergerak kolaborasi berbagi praktik baik lintas Klaster Filantropi yang tergabung pada Pendidikan, Ketahanan Pangan dan Gizi, serta Pemukiman dan Perkotaan, sebagai tugas dan tanggung jawab bersama semua pihak.
Dalam diskusi webinar Optimalisasi Periode Emas Anak Usia Dini melalui Pemenuhan Gizi, Sanitasi, dan Stimulasi Perkembangan, Selasa (14/2), Koordinator Rumah Anak SIGAP di Desa Saketi Kabupaten Pandeglang, Nova Mulyani, menceritakan praktik baik yang sudah dimulai dari tahun 2020. Diceritakan, banyak orang tua sudah sadar pengasuhan anak usia dini yang baik di periode emas agar memenuhi kebutuhan dasarnya. ”Orang tua sangat antusias dan bisa tahu banyak hal, seperti mitos ASI pertama dibuang, padahal itu ASI yang paling bagus. Setelah ada Rumah Anak SIGAP (RAS), mereka semakin tahu”, jelasnya. Selama masa pandemi, kegiatan pembelajaran di RAS sempat terhambat, namun terbantu dengan model pembelajaran blended melalui Learning Management System (LMS) hingga mendapat kunjungan rumah dari fasilitator.
Menyinggung terkait sanitasi, WASH Project Manager Yayasan Plan Indonesia, Herie Ferdian menerangkan bila kaitan erat sanitasi dalam mendukung tumbuh kembang anak. “Kami coba adaptasi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) untuk pengasuhan. Tantangan mendorong perubahan perilaku orang tua ini soal konsistensi bagaimana perilaku ini terus dipertahankan”, terangnya. Kegiatan sehari-hari seperti pembuangan popok sekali pakai, MCK yang tidak sembarangan terus digalakkan Yayasan Plan Indonesia.
Kegiatan yang hampir serupa juga dilakukan oleh Dompet Dhuafa melalui program pemenuhan gizi anak dan sanitasi. General Manager Program Kesehatan LKC Dompet Dhuafa, dr. Yeni Purnamasari tengah menjalan program tersebut yang tersebar di 12 provinsi di Indonesia. Menurut dr. Yeni, kedua hal terkait gizi anak dan sanitasi dianggap penting terhadap pertumbuhan anak; sebagai fondasi perilaku pola hidup sehat. “Sudah terjadi peningkatan kesadaran di masyarakat sehingga terbentuk mindset baru mengenai gizi dan kesehatan, agar bisa terjadi keberlanjutan”, imbuhnya.
Menambah data terkait gizi, dikutip dari Dewan Pengawas Ikatan Konselor Menyusui Indonesia (IKMI), Hesti K. P. Tobing, SKM, CIMI, Chf, menyebutkan hampir 35% bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif. Ha ini akan berakibat pada terlambatnya tumbuh kembang anak. Padahal, sudah ada panduan global pemberian makan bayi dan anak (PMBA) sebagai standar emas untuk hak kebutuhan pemenuhan gizi anak. Selain itu, kesehatan ibu juga berpengaruh ke pola pengasuhan anak, jika menyinggung soal psikologi. Hal ini juga berhubungan dengan stimulasi kemampuan motorik anak, dimana fakta ilmiah mengatakan bahwa 75% perkembangan otak anak terjadi di dua tahun pertama kehidupannya.
Webinar siang itu ditutup oleh Psikolog Anak Mentari Anakku, Firesta Farizal, M.Psi, agar orang tua selalu yakin dan sering melakukan berbagai rangsangan perkembangan, melalui aspek kognitif (emosional, bahasa, dan motorik). “Berita baiknya untuk melakukan stimulasi itu gak susah, karena kuncinya hanya main. Dari main, anak bisa belajar banyak hal. Dampaknya, menurut penelitian, anak yang mendapatkan stimulasi yang optimal saat kecil, akan bisa mengembangkan kompetensi di masa dewasanya ”, terangnya.