Filantropi dalam Sektor Kesehatan: Peran Strategis dan Peluang Kolaborasi bagi NGO Lokal

Jakarta, 26 Maret 2025 – Dalam rangka memperkuat peran organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam pembangunan sektor kesehatan di Indonesia, Forum CSO+ bersama Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) menyelenggarakan diskusi daring bertajuk “Filantropi dalam Sektor Kesehatan di Indonesia: Peran dan Peluang NGO Lokal”. Diskusi ini dihadiri oleh 44 peserta dari berbagai lembaga dan individu pemerhati isu kesehatan.

Acara ini dimoderatori oleh Ciptasari Prabawanti, Ph.D., dan dibuka dengan sambutan oleh Dr. Esty Febriani, M.Kes.. Dalam sambutannya, Dr. Esty menekankan pentingnya memperkuat jejaring antar-CSO (Civil Society Organization) serta menjadikan forum ini sebagai ruang pembelajaran bersama. Diskusi menghadirkan Timotheos Lesmana W., anggota Dewan Penasehat Perhimpunan Filantropi Indonesia, sebagai narasumber utama, serta dua penanggap yaitu Dian Rosdiana dan dr. Nurholis Majid.

Menyikapi Ketergantungan pada Donor Asing

Diskusi ini merupakan bagian kedua dari rangkaian pembahasan terkait filantropi. Latar belakangnya adalah penghentian program bantuan dari USAID yang selama ini menjadi salah satu sumber pendanaan bagi banyak organisasi masyarakat sipil. Forum ini bertujuan membuka perspektif baru mengenai sumber daya dalam negeri, khususnya dari sektor filantropi, yang potensinya sangat besar namun belum diakses secara optimal oleh NGO lokal.

Timotheus Lesmana W., anggota Dewan Penasihat PFI, menjadi narasumber utama dalam diskusi ini. Ia menyampaikan keprihatinan terhadap ketergantungan sebagian besar CSO terhadap pendanaan donor asing, yang membuat keberlangsungan program rentan terhadap dinamika eksternal. Menurutnya, peluang untuk memperkuat keberlanjutan melalui kerja sama dengan sektor filantropi dalam negeri masih sangat besar, asalkan dapat diakses dengan strategi yang tepat.

PFI, jelasnya, bukan merupakan penyedia dana, tetapi fasilitator yang berfokus pada pembangunan ekosistem filantropi di Indonesia. Sejak didirikan atas inisiasi Ford Foundation pada 2003 dan dirumuskan lebih lanjut pada 2007, PFI mengusung misi “Memajukan aksi dan solusi kolektif” untuk keadilan dan pembangunan sosial.

Dengan pendekatan sebagai catalyst dan “thought leader”, PFI membangun pusat kegiatan seperti Learning Center, Research and Publication Center, SDC Collaboration Center, serta Campaign and Communication Center. Organisasi ini juga mengelola beberapa klaster filantropi, termasuk klaster kesehatan yang fokus pada forum praktik baik, pengembangan kapasitas, riset, serta proyek percontohan.

Membangun Budaya Filantropi dan Kemandirian CSO

Dalam kesempatan yang sama; Timotheos juga menekankan bahwa budaya filantropi lokal di Indonesia masih belum banyak terekspos dan terdokumentasi, misalnya dalam jurnal ilmiah. Untuk itu, PFI mendorong penguatan kelembagaan dan literasi filantropi agar organisasi lokal mampu menyusun concept note yang kuat, membangun jejaring strategis, serta tidak semata-mata bergantung pada bantuan dana, tetapi memulai program dari inisiatif lokal.

Ia juga menyebutkan beberapa contoh praktik baik di sektor kesehatan, seperti program vaksinasi gratis, klinik kesehatan keliling, dan penyediaan sanitasi serta air bersih, sebagai bentuk kontribusi konkret filantropi yang bisa direplikasi dan dikembangkan lebih luas.

Perluasan Peran: Implementor, Katalisator, dan Advokator

Diskusi ini menyoroti bahwa NGO lokal dapat mengambil peran lebih dari sekadar pelaksana program. CSO dapat menjadi katalisator, yakni sebagai mediator antara donor dan pelaksana program, terutama dalam isu-isu yang masih kurang mendapat perhatian seperti kesehatan mental. Selain itu, peran advokasi terhadap pemangku kepentingan dan edukasi masyarakat juga sangat penting dalam memperkuat sistem kesehatan yang inklusif.

Perspektif Penanggap: Kesiapan dan Kapasitas Kemitraan

Sebagai penanggap, Dian Rosdiana mempertanyakan kesiapan CSO untuk bermitra dengan sektor filantropi. Ia menekankan perlunya pemahaman tentang spektrum pendekatan kolaborasi, mulai dari CSR (Corporate Social Responsibility), Corporate Citizenship, hingga Creating Shared Value (CSV).

Dian menyampaikan bahwa bentuk kemitraan bisa beragam: aliansi, konsultatif, temporer, hingga berbasis pembelajaran. Lebih dari sekadar dana, kolaborasi bisa berbentuk akses ke jaringan, keahlian, produk, informasi, dan inovasi. Ia juga menyampaikan pentingnya membangun kepercayaan melalui pendekatan personal, organisasi, atau prosedural.

Sementara itu, dr. Nurholis Majid menekankan bahwa PFI dan Forum CSO+ memiliki kesamaan tujuan, yaitu menciptakan kemanfaatan bagi masyarakat. Ia menggarisbawahi bahwa kemitraan harus dibangun atas dasar kesetaraan dan keberlanjutan, dengan tetap menempatkan komunitas sebagai pusat dari intervensi sosial.

Dinamika Diskusi: Tantangan, Kolaborasi, dan Rencana Aksi

Dalam sesi tanya jawab, peserta seperti Nasrun Hadi menyoroti tidak adanya forum reguler yang mempertemukan CSO dan filantropi. Timo menjawab bahwa meskipun belum ada forum formal, pertemuan informal melalui jejaring individu terus berlangsung, meski kurang efektif. Forum CSO+ berpotensi menjadi ruang strategis tersebut.

Vinsensius dari NTT menyoroti tantangan lokal seperti akses perbankan dan kesehatan, serta dominannya peran NGO sebagai implementator dibandingkan advokator. Hal ini diperkuat oleh Timo, yang menyebut bahwa wilayah seperti NTT lebih banyak aktif di klaster pendidikan. Ia menyampaikan rencana kunjungan lapangan ke sana untuk melihat langsung kondisi dan membangun strategi kolaborasi yang relevan.

Moktar mengangkat pentingnya penguatan nilai social justice dan gotong royong di tingkat komunitas. Ia mendorong prakarsa dialogis dan kepedulian horizontal antar masyarakat.

Dari sisi strategi, Timo menambahkan bahwa Forum CSO+ perlu menyusun pemetaan kebutuhan dan menyampaikan sikap terbuka, termasuk soal batasan kemitraan (misalnya, isu sensitif seperti penggunaan susu formula). Hal ini penting agar kemitraan dapat dibangun di atas dasar kepercayaan dan kejelasan nilai.

Menuju Ekosistem Kolaborasi yang Lebih Kuat

Melalui forum ini, terlihat bahwa potensi kolaborasi antara NGO lokal dan pelaku filantropi sangat besar, namun perlu dijembatani dengan sistem yang saling percaya, pemahaman konteks lokal, dan kemitraan yang setara. Forum CSO+ dan PFI berkomitmen untuk terus memperkuat peran ini melalui forum dialog, pemetaan, dan penguatan kapasitas.

Langkah Lanjut dan Isu Prioritas

Di akhir diskusi, agar nantinya semua analisa mampu menjadi aksi nyata yang berdampak, maka seluruh peserta sepakat untuk merumuskan beberapa rencana aksi strategis, yaitu:

  • Forum CSO+ menyatakan kesiapan menjadi mitra pada klaster kesehatan.
  • Dilakukan pemetaan kebutuhan organisasi untuk menjangkau klaster filantropi yang sesuai.
  • Perlu penyusunan concept note program yang lebih komprehensif.
  • Forum CSO+ siap mengambil tiga peran utama: implementator, katalisator, dan advokator.
  • Isu-isu kesehatan prioritas seperti kesehatan mental dan penuaan (aging) diidentifikasi sebagai tema penting untuk kerja sama jangka menengah.

Bagikan:

Rekomendasi Berita

PSS KFLHK 27092023 web
Peran Filantropi dan Bisnis dalam Waste Management untuk Planet yang Berkelanjutan
DSC_0977-scaled
Peringati Hari Ozon Dunia, Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi Ajak Kurangi Perubahan Iklim
DSC_0757-scaled
Acara Peluncuran yang Sukses di Gramedia Soroti Filantropi Strategis: A Philanthropist's Guide to Giving Edisi Bahasa Indonesia Telah Tersedia

Berita Terkini

PLF 69
Filantropi dalam Sektor Kesehatan: Peran Strategis dan Peluang Kolaborasi bagi NGO Lokal
DSC_0217
Memperkuat Budaya Filantropi: Refleksi Quarterly Forum Badan Kepengurusan Perhimpunan Filantropi Indonesia 2025
Thumbnail-Artikel-9-1
Mendorong Kemandirian Ekonomi: Peluang bagi Generasi Muda, Perempuan, dan Penyandang Disabilitas
Dapatkan berita dan informasi terbaru dari kami

Buat langkah kecil untuk bangkitkan perubahan