Kegiatan penggalangan dana (fundraising) melalui kanal digital masih diminati oleh masyarakat, khususnya penggalangan dana oleh publik yang sering disebut crowdfunding. Bahkan, penggunaan kanal media sosial menjadi ‘lapangan baru’ untuk menyampaikan kampanye dan programnya dalam menggalang dana tersebut. Contohnya, telah terkumpul lebih dari USD 7 juta di Inggris melalui Facebook Fundraiser selama 5 tahun terakhir yang digunakan untuk aktivitas sosial/filantropi. Rupa kampanye tidak hanya melalui materi sosialisasi dan promosi, namun juga berupa konten edukasi maupun informasi yang isinya sangat dekat di masyarakat.
Kini, gerakan filantropi melalui penggalangan dana publik sudah didominasi/mudah digerakkan oleh kalangan muda seperti generasi Millennial dan generasi X. Hal ini juga diikuti dengan maraknya pemberian donasi dalam nominal kecil (micro giving) pada beberapa kampanye yang ada di platform crowdfunding. Pertanggungjawaban dari kampanye yang digalang tersebut disampaikan secara langsung menggunakan kanal media sosial, sehingga dukungan publik terasa masif dan menghasilkan dampak yang lebih besar.
Pembahasan terkait tren crowdfunding ini dipaparkan oleh Alfatih Timur, Co-Founder dan CEO Kitabisa.com pada Rapat Umum Anggota (RUA), 28 Februari lalu. Pria yang akrab dipanggil Mas Timmy ini menyampaikan bahwa tren yang ada juga menjadi dampak positif dari era digitalisasi filantropi.
Baca juga: Mendorong Kolaborasi dan Sinergi, untuk Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Terjadi peningkatan penggunaan dompet digital (e-wallet) di tengah ramainya crowdfunding, dimana transaksi yang dilakukan mendukung micro giving yang ditengarai oleh kalangan muda tersebut. Selain itu, kampanye yang diusung segmen komunitas (community-based) lebih mudah mendapatkan atensi. Pendekatan konten, gerakan bersifat organik hingga kesamaan tujuan melakukan aktivitas sosial menjadi alasan tingginya basis komunitas dalam berkampanye. “Tentu kita tahu, donatur pengen terasa belong; tidak hanya terhadap isu yang dia dukung tapi terhadap siapa saja dia berdonasi dan engage terhadap konten yang didukung”, ujarnya. Efek micro influencer juga cukup berpengaruh dalam amplifikasi kampanye dalam mengundang perhatian penggalangan dana publik.
Dalam tingkatan kategori fundraising, bantuan medis dan kesehatan masih menjadi tema penggalangan dana yang diminati, selain kemanusiaan dan bencana alam. Di samping itu, Mas Timmy menyebutkan bahwa banyak isu penggalangan short term, meskipun gerakan filantropi lebih diutamakan pada pendanaan jangka panjang (long term). Pengaruh sistem ini dipengaruhi oleh sebagian besar program lembaga CSO/filantropi dalam mendukung kegiatan yang bersifat one time event. Meskipun begitu, beberapa kegiatan dilaksanakan secara berkala sehingga dampak sosialnya dapat dinilai berkelanjutan.
Menutup paparannya, Mas Timmy menilai bila Corporate Social Responsibility (CSR) tetap menjadi nilai positif dalam melakukan aktivitas filantropi, terutama selama masa pandemi COVID-19. “CSR masih jadi pola yang penting, strategi yang penting untuk kegiatan filantropi”, tutupnya.