Oleh: Novi Meyanto, Wakil Bendahara Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia
Program-program filantropi menjadi kegiatan yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang menjadi tujuan bersama, terutama negara. Namun begitu, pendanaan menjadi salah satu hambatan yang cukup berpengaruh untuk menentukan kelancaran dan keberlanjutan program yang sudah direncanakan.
Sesuai dengan data yang disajikan dalam Indonesia Philanthropy Outlook 2024, terdapat tiga pilar utama dalam pelaksanaan program filantropi yaitu Perencanaan, Pendanaan, dan Akuntabilitas. Artinya ini mencakup proses sebelum, saat, dan sesudah program berhasil dimulai atau dilaksanakan. Jika perencanaan dibuat berdasarkan visi, misi, dan nilai dari lembaga filantropi dan disesuaikan dengan tujuan SDGs 2030, maka pendanaan membutuhkan peran aktif dari berbagai pihak. Sementara itu, pada pilar ketiga atau akuntabilitas, dibutuhkan tanggung jawab tertulis berupa pelaporan dan juga tingkat kepatuhan program dari seluruh pihak yang terlibat.
Pola Pendanaan Filantropi Saat Ini
Berdasarkan wawancara yang dirangkum dalam Indonesia Philanthropy Outlook, pendanaan filantropi saat ini masih didominasi oleh pendanaan dari hibah lembaga internasional atau negara lain. Sementara untuk filantropi berbasis keluarga dan perusahaan, menerima pendanaannya dari dana mandiri atau perusahaan yang sudah dialokasikan untuk dana CSR atau Corporate Social Responsibility.
Selain kedua sumber pendanaan tersebut, Indonesia juga cukup unggul dalam pengumpulan dana yang berasal dari zakat atau persepuluhan oleh lembaga filantropi berbasis agama. Setiap jenis filantropi (filantropi keluarga, perusahaan, independent, agama) memiliki karakteristik dan prioritas tersendiri dalam hal sumber pendanaan. Yang terpenting, terdapat kolaborasi antara lembaga filantropi, mitra pelaksana, dan juga lembaga pemberi dana.
Untuk bisa terjadinya kolaborasi tersebut, sering kali terdapat syarat tertentu yang mendasari seperti adanya kesamaan value atau bidang yang cukup prinsipil. Misalnya saja, lembaga filantropi yang bergerak pada isu anak-anak cenderung tidak menerima pendanaan dari perusahan rokok, susu formula, dan lainnya. Atau, lembaga filantropi yang bergerak pada keberlanjutan lingkungan, sering kali tidak bekerja sama dengan pendanaan dari perusahaan pertambangan yang memiliki stereotipe tidak ramah lingkungan. Sama halnya, lembaga filantropi berbasis agama akan lebih memilih sumber pendanaan yang lebih sesuai dengan syariat atau keyakinan masing-masing agama.
Jika bicara tentang angka, secara keseluruhan selama tahun 2021 hingga 2023, terdapat fluktuasi dari dana yang terkumpul untuk program filantropi. Survei ini dilakukan pada 48 responden lembaga filantropi. Pada tahun 2021, dana yang terkumpul mencapai sebesar Rp3.048 triliun; kemudian sekitar Rp3.435 Triliun pada tahun 2022; dan Rp2.824 Triliun pada tahun 2023. Jika dilihat dari keberhasilan penyaluran dana, rata-rata mencapai 95% dari dana berhasil disalurkan pada program filantropi.
Dalam hal pengumpulan, lembaga filantropi cenderung masih menggunakan cara konvensional seperti penggalangan dana atau pengajuan proposal ke perusahan yang memiliki alokasi dana CSR. Selain itu, dengan adanya platform digital, beberapa tahun ke belakang popularitas pengumpulan dana melalui platform digital tersebut cukup meningkat. Salah satu kelebihan dari pengumpulan dana melalui platform digital adalah pemberi atau penyumbang dana bisa memilih sasaran dananya dengan lebih spesifik..
Tantangan dalam Penerimaan Pendanaan
Pendanaan filantropi, meski sumbernya bisa jadi berbeda, memiliki tantangannya tersendiri. Sebagai gambaran, pendanaan perusahaan sering kali harus selaras dengan program CSR perusahaan. Padahal, program CSR sering kali dibuat sebagai program per tahun sehingga skemanya bersifat jangka pendek. Kemudian, ada kepentingan lain dalam pendanaan dari perusahaan yaitu kepentingan publikasi dan reputasi perusahaan yang sebetulnya berkaitan juga dengan pelaporan kegiatan. Karena skemanya merupakan skema jangka pendek, dana yang disediakan pun bisa jadi lebih terbatas sesuai dengan linimasa yang sudah ditentukan oleh perusahaan.
Sementara itu, lembaga filantropi yang dapat mengakses pendanaan dari pemerintah juga menghadapi persoalan tersendiri. Salah satunya adalah pemenuhan persyaratan dana padanan serta beban administratif berkas dan tahapan birokrasi yang lebih banyak. Selain itu, tidak semua lembaga filantropi memiliki akses pendanaan dari pemerintah sehingga filantropi agama melalui kontribusi zakat, wakaf, dan donasi dari masyarakat menjadi sumber penting untuk menambah pembiayaan di sektor filantropi.
Dari seluruh jenis pendanaan yang mungkin menjadi sumber pendanaan filantropi, salah satu masalah yang cukup krusial dan perlu diperhatikan lebih lanjut adalah mengenai akuntabilitas. Setiap pemberi dana, terlepas dari nominal yang diberikan, memiliki hak untuk mengetahui ke mana dana tersebut disalurkan, seperti apa program yang dilaksanakan dan seperti apa keberhasilan program tersebut.
Pendanaan Filantropi: Katalis Keberhasilan Capaian SDGs
Tujuan SDGs dirancang untuk bisa tercapai pada tahun 2030 – kurang dari enam tahun dari sekarang. Demi mendukung tujuan Indonesia sebagai negara, tujuan SDGs ini digaungkan di berbagai sektor, termasuk sektor filantropi. Sementara itu, salah satu tantangan utama Indonesia dalam pencapaian SDGs adalah pemerataan program. Untuk bisa menanggulangi tantangan tersebut, filantropi dapat mengambil peran sebagai katalis dalam pencapaian tujuan SDGs dalam waktu yang lebih singkat.
Sektor filantropi berpotensi besar untuk bisa menjadi katalis karena banyak pihak yang terlibat di dalamnya yang dapat memajukan dalam hal pendanaan, inovasi, keahlian, serta jaringan yang bisa membantu Indonesia dalam memenuhi 17 tujuan SDGs. Salah satu peran utama sektor filantropi adalah mengisi atau menjembatani pendanaan hingga pelaksanaan program antara pemerintah dan sektor swasta. Dengan adanya kolaborasi multipihak, filantropi bisa menjadi penggerak utama percepatan pencapaian SDGs di berbagai bidang seperti pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, kesehatan, dan pelestarian lingkungan.
Inovasi Pendanaan untuk Keberlanjutan Program Filantropi
Sebagai sektor yang bisa menyambungkan kolaborasi berbagai pihak, filantropi perlu memiliki konsep pendanaan inovatif yang dapat mencakup berbagai strategi. Beberapa di antaranya adalah:
- Pendanaan dengan model social impact bonds (sektor swasta membiayai program, dan ada pengembalian dana jika program sudah mencapai hasil tertentu yang disepakati)
- Pendanaan dengan model result-based financing (pendanaan diberikan dan akan ada pengembalian dana saat target sosial tertentu tercapai)
- Pendanaan crowdfunding (penggalangan dana melalui platform tertentu untuk satu tujuan, memungkinkan orang-orang menyumbang dalam jumlah variatif)
Selain itu, masih ada pendanaan inovatif lainnya yang dibuat dengan tujuan meningkatkan akuntabilitas atau pertanggungjawaban penggunaan dan penyaluran dana. Hingga pada prosesnya, tidak ada dana yang diberikan tanpa ada tindak lanjut atau laporan setelahnya.
Secara keseluruhan, pendanaan filantropi merupakan elemen penting dalam ekosistem pembiayaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, dan dengan pendekatan yang tepat, kontribusinya dapat secara signifikan mempercepat pencapaian target SDGs 2030.