Dalam beberapa tahun terakhir, sektor bisnis dan filantropi semakin mengakui pentingnya pembangunan berbasis wilayah sebagai cara efektif mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Dengan berfokus pada area geografis tertentu, organisasi filantropi dapat memanfaatkan sumber daya dan keahlian mereka untuk mendorong perubahan yang berarti dan meningkatkan taraf hidup orang-orang yang tinggal di komunitas tersebut.
Pembangunan berbasis wilayah mengakui bahwa konteks lokal dan karakteristik masyarakat yang unik merupakan faktor penting dalam membentuk hasil pembangunan. Melalui pendekatan ini, perusahaan maupun organisasi filantropi tidak hanya dapat menangani kebutuhan mendesak, seperti pengentasan kemiskinan dan akses ke layanan dasar, tetapi juga mendukung tujuan jangka panjang seperti pembangunan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kohesi sosial. Dengan bekerja sama dengan mitra lokal dan berinvestasi dalam kapasitas masyarakat untuk memimpin pembangunan mereka sendiri, pembangunan berbasis kawasan menjadi kekuatan besar dalam menyelesaikan tantangan pembangunan berkelanjutan.
Gusman Yahya, Direktur Eksekutif Perhimpunan Filantropi Indonesia, menyatakan dalam kata sambutannya bahwa berdasarkan kajian dalam Indonesia Philanthropy Outlook 2022, disebutkan bahwa jangkauan aktivitas filantropi yang luas menjadi salah satu poin area kemajuan sektor filantropi selama beberapa tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga filantropi tidak hanya melakukan kegiatan filantropinya dan bekerja di wilayah domisili asalnya, namun telah beroperasi dan bekerja di skala subnasional, nasional, dan internasional.
Filantropi di daerah juga berkembangan dengan pesat dalam waktu terakhir ini. Hal ini menjadi peluang bersama untuk dapat mengembangkan program dan inisiatif dengan melibatkan pemangku kepentingan lokal untuk membantu akselerasi pencapaian agenda berkelanjutan dengan memanfaatkan potensi lokal yang dapat menjadi kunci perubahan.
“Pengembangan program berbasis kawasan merupakan salah satu strategi yang dapat diadaptasi karena, melibatkan banyak pemangku kepentingan di daerah baik unsur pemerintah maupun non pemerintah, agar terbangunnya komunikasi dengan masyarakat, perbaikan pelayanan masyarakat, dan program pemberdayaan masyarakat sekitar.”
– Gusman Yahya, Direktur Eksekutif Perhimpunan Filantropi Indonesia
Seperti yang sudah dijalankan selama 25 tahun Dompet Dhuafa memberikan kontribusinya ke masyarakat, terjadinya perubahan implementasi dari hotspot menjadi basis kolaboratif dan kawasan. Leading sector yang didampingi oleh Dompet Dhuafa yakni di bidang sektor pemberdayaan ekonomi, karena dianggap hal yang resilient bagi masyarakat. Pengembangan kawasan yang dibangun dinamakan Kawasan Mandiri Berdaya (Madaya). Implementasi Kawasan Madaya ini konsen kepada 5 pilar yakni, ekonomi, kesehatan, lingkungan, budaya dan keagamaan/dakwah. Adapun pendekatan metode filantro-preneur secara meluas di akhir menjadi kunci pendampingan efektif dari Dompet Dhuafa.
“Disederhanakan dari pendampingan mustahik (read: penerima manfaat), lalu penguatan kelembagaan kemitraan sampai ke aliansi nasional social enterprise. Sehingga usaha sosial tersebut menjadi modal pengembangan wakaf produktif. Kami berharap dapat membangun secara masif sebuah close look yang baik, di bagian hulu dan hilir program ini“, ulas Bambang Suherman, Direktur Program Dompet Dhuafa.
Hal yang sama ditekankan oleh Tomy Hendrajati, Presiden Human Initiative, bahwa lembaga filantropi khususnya yang bergerak di bidang kemanusiaan tidak bersifat sebagai penolong utama – namun menjadi akselerator sumber daya yang sudah dimiliki oleh masyarakat. “Kami perlu memastikan apa yang telah dimiliki masyarakat sebagai aset awal untuk intervensi program berbasis kawasan”, ujarnya.
Dorongan anak muda dianggap Human Initiative sebagai indikator dan aktor penggerak program yang disebut Klaster Berdaya, yang penting untuk perubahan di masyarakat. “Human Initiative fokus kepada integrasi program tanggap bencana di fase pemulihan, yakni dimulai pemberian bantuan; dilanjutkan asesmen dan menggali local leader yang berpotensi untuk meningkatkan keterampilan masyarakat pasca bencana, hingga menghubungkan ke mitra pembangunan yang strategis dalam mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar”, jelas Tomy.
Fokus pengembangan program di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) yang bersifat jangka panjang juga menjadi strategi perusahaan dan lembaga filantropi untuk pembangunan berskala kawasan. Strategi ini dijalankan Yayasan BUMN untuk Indonesia melalui Program Cinta Tanah Air, pada bidang UMKM, pendidikan dan lingkungan hidup. Mulai dari asesmen skala prioritas, pemanfaatan jaringan BUMN untuk akses ke pemangku kepentingan sampai melibatkan komunitas lokal. “Realisasi program bukan hanya menjadi program kami, namun menjadi program bersama dimana tidak menaruh ketergantungan kepada kami. Sehingga merasa program tersebut menjadi kepentingan bersama”, ujar Harjawan Balaningrath, Ketua Yayasan BUMN untuk Indonesia.
Di sisi lingkungan hidup untuk mencegah perubahan iklim, Pertamina Foundation menjalankan pengembangan kawasan blue carbon initiative, melalui kegiatan konservasi dan biodiversitas, pengembangan kapasitas masyarakat, serta sinergitas perluasan dampak dengan dukungan crowdfunding. Agus Mashud A. Asngari, Presiden Direktur Pertamina Foundation menyampaikan bahwa diharapkan adopsi dan penerapan blue carbon initiative yang dijalankan Pertamina Foundation pada daerah dampingannya dapat merawat habitat dari flora dan fauna endemik. Agus menjelaskan juga dalam program ini mengkombinasikan aksi kolektif antara akademisi dan komunitas, melalui simposium kebijakan biodiversitas dalam peluang pemanfaatan blue carbon.
Tonton rekamannya pada tautan di bawah atau melalui YouTube Filantropi Indonesia