“Topik (Philanthropy Learning Forum) kali ini menarik, karena hampir semua pelaku filantropi terlibat dalam membantu pemerintah mengatasi pandemi ini dan akan membahas apa saja tantangan yang telah dihadapi oleh para pelaku filantropi ini selama respon tanggap darurat COVID-19”. Begitulah kutipan sambutan dari Timotheus Lesmana selaku Ketua Badan Pengurus Filantropi Indonesia dalam kegiatan Philanthropy Learning Forum (PLF) Daring dengan topik Tren dan Tantangan Mobilisasi Filantropi di Masa Pandemi pada 23 April 2020 lalu. Dimoderatori oleh Dian Indraswari (Direktur Yayasan Pulih), kegiatan yang berlangsung selama 2 jam ini menghadirkan pembicara dari bidang ahli dan inisiator yang telah mengembangkan pendekatan serta strategi baru dalam mobilisasi penyaluran bantuan bagi masyarakat, yakni Hamzah Fatdri Ulhaq (CEO SharingHappiness.org) yang akan membahas mengenai strategi digital fundraising, Jeremia Jefferson (Senior Manager Corporate Partnership Yayasan Save The Children) terkait penggalangan donasi perusahaan dan Allisa Wahid (Inisiator Gerakan #SalingJaga) terkait strategi menggerakkan komunitas juga influencer sebagai fundraiser.
Keterbatasan ruang gerak masyarakat selama pandemi COVID-19 akibat pengaruh physical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar tidak menjadikan rasa kepedulian terhadap sesama juga ikut terbatas. Paparan materi yang dibawakan oleh Hamzah Fatdri mengatakan bahwa keadaan ini memaksa berbagai kalangan masyarakat untuk melakukan kegiatan secara online pada kesehariannya dan sampai sekarang menjadi terbiasa. Hal yang serupa berdampak pada interaksi penggalangan dana digital (digital fundraising) yang mengalami peningkatan, tentunya melalui akun sosial media dengan konten yang rapi dan sesuai. Namun, masih ditemukan kendala dalam penerapannya seperti efektivitas campaign masih kurang, penyampaian konten yang monoton, dan hal lainnya.
“Perlu dicatat bila caranya kita harus fokus kepada niat dan values organisasi; bagaimana caranya berkomunikasi kepada masyarakat dengan membuat konten yang menyentuh hati audiens/masyarakat. Kalau kami (di SharingHappiness.org) menggunakan pendekatan psikologi positif yaitu berbagi kebahagiaan pada setiap konten yang kami buat sehingga masyarakat di luar sana tergerak untuk menyumbang”, ujar Hamzah Fatdri. Beliau pun menambahkan pada sisi transparansi laporan pertanggungjawaban yang harusnya dilakukan oleh platform penggalangan donasi yang kadang terlupakan, padahal hal ini riskan menjadi pertanyaan akuntabilitas organisasi – apakah penyalurannya telah tepat guna atau tidak. Selain itu, Hamzah Fatdri juga mengajak bagi lembaga yang belum melakukan shifting ke digital agar mencobanya sebagai perluasan pengenalan program yang dijalankan.
Di sisi lain, pihak perusahaan juga merasakan perubahan yang signifikan terhadap metode penggalangan dana yang mengandalkan optimalisasi teknologi secara digital. Baik dari sisi strategi penawaran maupun bentuk program yang ditawarkan dimana kenyataannya menemui beberapa kendala dengan para perusahaan sebagai calon donatur. “Selama masa pandemi, perusahaan mengalami kesulitan secara finansial karena produksi terhambat yang berdampak kepada turunnya penjualan dan rata-rata perusahaan lebih memilih menyalurkan dananya kepada pemerintah langsung sehingga tantangan strategi baru muncul”, ulas Jeremia. Menurut beliau, kita harus pintar dalam penerangan dan transparansi terhadap potensi kerja sama, risiko pelaksanaan program dan penilaian benefit apa yang didapatkan kedua belah pihak seperti peningkatan awareness kepada followers mereka atau pengadaan fundraising. Hal tersebut dijalankan oleh Yayasan Save The Children, salah satunya melakukan beberapa improvement secara global dengan target penggalangan sebesar 100 juta USD yang ditujukan ke beberapa negara yang membutuhkan, khususnya negara-negara yang tidak memiliki fasilitas kesehatan yang layak. Namun perlu dicatat bahwa dibutuhkan kesesuaian visi, misi dan nilai lembaga sosial dengan perusahaan dalam jalinan kerjasama agar orientasi tujuan tidak berubah dan mencegah misleading prinsip program.
Menyinggung kebutuhan fundraising, tidak lepas dari cara bagaimana menggerakkan komunitas dan melibatkan influencer dalam strategi sebagai fundraiser. Maka dari itu, dijelaskan oleh Allisa Wahid bahwa hal tersebut tidaklah mudah, namun tentu saja memiliki trik tersendiri. Dalam respon tanggap COVID-19, Jaringan Gusdurian menginisiasi gerakan #SalingJaga untuk melengkapi tools edukasi kepada masyarakat terkait jaga jarak, saling jaga. Inisiasi ini juga berjalan berkat dukungan dan kemauan gerakan dari komunitas jaringan Gusdurian yang tersebar di 72 kota, dimana diperlukan koordinasi baik dan membangun kepercayaan kepada jaringan tersebut. “Intinya prinsip program lembaga dibangun dengan sistem duplikasi dan replikasi, supaya dipastikan semua komunitas dapat melakukannya. Lain hal dengan membangun kepercayaan – dilakukan pendekatan melalui personal dengan pembuktian peningkatan produktifitas dari kegiatan komunitas itu”, papar Allisa. Kedepannya, komunitas ini menjadi penggerak dari visi dan misi lembaga jaringan yang kredibel.
“Kalau bicara soal influencer, Gusdurian punya influencer yang terlibat dalam #SalingJaga dan Gusdurian Peduli. Dapat dikatakan kami cukup beruntung karena banyak dari mereka yang ingin berbuat kebaikan dalam masa COVID-19 ini tapi tidak tahu harus berpartner dengan siapa”, tuturnya. Ada catatan tersendiri mengenai kolaborasi dengan influencer yang dibagikan oleh Gusdurian, yakni: adanya value clarification lembaga yang dianut agar pribadi yang diajak bekerjasama dapat menyesuaikan, menemukan konsen mereka sehingga kerjasama yang dijalankan dapat sesuai dengan tujuan lembaga dan keinginan influencer, serta selalu mengapresiasi mereka secara terus-menerus terkait personal branding yang berhubungan dengan engagement terhadap followers-nya.
Kegiatan PLF Daring ini merupakan bagian dari respon tanggap darurat Filantropi Indonesia terhadap COVID-19. Nantikan PLF Daring dengan tema menarik lainnya!