Innovative Financial Support for Sustainable Development

Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai net-zero emission sebelum tahun 2060, di mana telah melakukan berbagai strategi untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), salah satunya penggunaan lahan yang bertanggung jawab. Indonesia berjanji untuk mencapai netralitas karbon di sektor kehutanan pada tahun 2030, “Sektor kehutanan, yang awalnya menyumbang 60 persen emisi Indonesia, akan mencapai penurunan karbon pada tahun 2030”. Penggunaan lahan yang bertanggung jawab dapat dioptimalkan untuk produksi komoditas utama yang lebih berkualitas. Tantangan terbesar dalam produksi komoditas pertanian terletak pada populasi petani kecil yang menua, kesulitan mendapatkan kredit penanaman kembali, dan hanya diberi sedikit pelatihan mengenai praktik pertanian terbaik atau pendidikan mengenai pentingnya menjaga hutan sebagai daerah aliran sungai, penyerbuk, dan perlindungan tanah. UKM juga menghadapi tantangan dalam mengakses modal untuk mengatasi tantangan penawaran dan permintaan. Terdapat kesenjangan pengetahuan yang signifikan mengenai cara mencapai transisi produksi agar lebih berkelanjutan dan memisahkan hal tersebut dari deforestasi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) dan ADM Capital berkolaborasi menyelenggarakan Philanthropy Sharing Sessions #38 dengan topik “Innovative Financial Support for Sustainable Development“. ADM Capital adalah private credit manager yang telah melakukan banyak investasi di Asia termasuk Indonesia sejak tahun 1998, mempunyai beberapa pengalaman dalam menyusun, membangun, serta menerapkan solusi dan model keuangan dan bantuan teknis untuk menjawab tantangan pertanian dan pengelolaan lahan untuk memberikan dampak positif untuk masyarakat dan lingkungan di Indonesia. Kegiatan ini dihadiri oleh 34 partisipan yang hadir secara luring.

Diskusi dibuka dengan paparan oleh Fitrian Ardiansyah, ESG and Impact Director for ACLF (ADM Capital Climate), menjelaskan terkait sustainable finance, perubahan iklim, dan SDGs. Fitrian memaparkan data bahwa pembiayaan untuk SDGs dan iklim merujuk ke peta Jalan SDGs Indonesia 2019 yang memperkirakan, diperlukan 4,7 triliun USD pendanaan untuk mencapai target SDGs 2030. Indonesia membutuhkan sekitar 322 miliar USD untuk memenuhi target iklimnya pada tahun 2030, berdasarkan Kontribusi Nasional tahun 2021.

Dalam konteks Indonesia, telah diluncurkan Taksonomi Hijau pada tahun 2022 yang bertujuan untuk memungkinkan sektor keuangan mengklasifikasikan kegiatan ramah lingkungan, memfasilitasi pemantauan aliran kredit dan investasi. Skema pembiayaan berkelanjutan akan dikembangkan bagi industri jasa keuangan untuk mendukung pengembangan ekonomi hijau baru. Hal ini mencakup pembentukan pasar karbon, yang kerangka peraturannya sedang dikembangkan oleh OJK bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia dan lembaga infrastruktur pasar lainnya. Taksonomi ini juga menjadi pedoman dalam perumusan kebijakan insentif (dan disinsentif) untuk mendorong ekonomi hijau. Investasi besar hanya dapat dilakukan jika ada keterlibatan dari institusi keuangan, serta kolaborasi dengan stakeholder lain. Masih besar peluang untuk eksplorasi lebih lanjut mengenai peluang sinergi untuk memperkuat ekosistem investasi dalam rangka mempercepat pencapaian SDGs dan perubahan iklim.

Tantangan yang cenderung dijumpai di Indonesia adalah ketersediaan pembiayaan dan investasi sebagian besar berjangka pendek hingga menengah, sementara banyak lanskap membutuhkan pembiayaan dengan tenor yang fleksibel dan lebih lama. Investasi tidak hanya berdampak kepada peningkatan hasil komersial, tetapi juga menjadi faktor pendorong paling besar untuk mencapai aspek environmental dan social. Kemitraan dan kolaborasi dengan lembaga filantropi adalah kunci utama untuk menjawab tantangan tersebut, di mana filantropi dapat masuk dalam pipeline development, SDGs impact creation, early-stage financing, dan piloting to scalability.

Bangkit Oetomo, Investment Associate for ACLF (ADM Capital Climate) menjelaskan pembiayaan yang di lakukan oleh ADM Capital tidak hanya harus memberikan riten bagi investor, tetapi juga harus ada dampak lingkungan dan sosial yang terekam dengan jelas. Ini ditujukan agar mendorong akuntabilitas dan transparansi terhadap project yang diinvestasikan. Keterdukungan investasi di sektor-sektor terkait SDGs di Indonesia, ekosistem pendukung blended finance merupakan komponen kunci yang dilakukan ADM Capital. Pembiayaan dapat dibuka jika ada jaminan off-taking dan sumber yang andal sehingga perlu memiliki pembiayaan inovatif, hibah, dan bantuan teknis untuk meningkatkan efisiensi rantai pasokan, peningkatan kualitas, kuantitas dan keberlanjutan.

Di akhir diskusi, Trihadi Saptoadi, Anggota Badan Pengawas Perhimpunan Filantropi Indonesia sekaligus Direktur Yayasan Tahija memberikan penutup bahwa isu impact investing dan blended invesment sudah bukan menjadi pilihan, namun realita yang harus dihadapi. Batasan antara investasi komersial dengan filantropi sudah menjadi agak kabur namun dapat memberikan dampak positif. Mulai terjadi integrasi walaupun dalam implementasinya harus tetap hati-hati, karena dana yang diterima dari investor komersial dengan hibah filantropi merupakan dana yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukan. Penekanan lainnya adalah bagaimana menciptakan ekosistem investasi yang efektif dengan keragaman bentuk, peran, serta kekuatan filantropi di Indonesia.

Menurut Trihadi, ada lima skenario yang dirasa dapat untuk menjawab hal di atas. Pertama, Access, di mana lembaga filantropi dan nirlaba membantu usaha di sekitar kita. Project atau program yang dilakukan tidak memiliki hubungan atau keterikatan apapun. Kedua, Leveraging, yang mengarah kepada kolaborasi untuk meningkatkan kapasitas usaha masyarakat agar lebih berkelanjutan. Ketiga, Sub-Matching, di mana filantropi memiliki dana untuk mengurangi cost of fund dapat menaruh dana tersebut bersama ADM untuk membantu usaha kecil yang belum bisa bertahan memperoleh pendanaan dari perbankan. Keempat, Sub-Contracting, untuk filantropi yang memiliki dana besar misal Rp50 milliar dapat menitipkan dana kepada ADM agar dapat diberikan kepada masyarakat disekitar. Kelima, skenario terakhir yaitu skenario Multi-Partnership Manager. Sebuah filantropi yang bekerja sama dengan pemerintah dan memiliki banyak bisnis didalamnya tentunya butuh fund manager untuk mengelola group tersebut, disinilah ADM dapat berperan dan mengoptimalkannya.

Bagikan:

Rekomendasi Berita

all 9 Maret 1000x600
Urgensi Penegakan Kode Etik Filantropi di Era Digital
Perlindungan-dan-Jaminan-Sosial-Relawan-COVID-19-Tanggung-Jawab-Siapa
Perlindungan dan Jaminan Sosial Relawan COVID-19, Tanggung Jawab Siapa?
Urgensi Perlindungan Relawan COVID-19
Urgensi Perlindungan Relawan COVID-19

Berita Terkini

DSC_0221-scaled
Kolaborasi Filantropi untuk Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Berbasis Proyek
IMG_5799-scaled-e1733197753608
Simposium Filantropi untuk Aksi Iklim 2024 Mengakselerasi Transisi Hijau Indonesia melalui Filantropi Strategis
IMG_4682-scaled
Peran Perhimpunan Filantropi Indonesia dalam Meningkatkan Akses Vaksinasi dan Edukasi COVID-19 bagi Kelompok Rentan
Dapatkan berita dan informasi terbaru dari kami

Buat langkah kecil untuk bangkitkan perubahan