Berinvestasi pada Planet: KFLHK Ajak Memahami Karbon untuk Peluang Ekonomi Hijau

Dalam rangkaian kegiatan kampanye #GreenRamadhan2024, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) dan Klaster Filantropi Lingkungan Hidup & Konservasi (KFLHK) sukses menyelenggarakan “Philanthropy Sharing Sessions #39: Memahami Karbon: Dari Hulu ke Hilir serta Keterlibatan Bisnis dan Filantropi”. Acara yang berlangsung pada Kamis, 28 Maret 2024, secara daring yang dihadiri oleh berbagai stakeholder penting dari pemerintah, sektor bisnis, organisasi filantropi, dan masyarakat umum.

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang perjalanan karbon, dari proses alami hingga aktivitas manusia yang menyebabkan emisi, dan bagaimana semua ini berkontribusi terhadap perubahan iklim global. Melalui diskusi mendalam, acara ini juga mengeksplorasi potensi filantropi dan bisnis dalam kontribusi penurunan emisi karbon di Indonesia serta mendorong kolaborasi antar-sektor untuk menghadapi tantangan perubahan iklim secara holistik.

“Penurunan emisi gas karbon dan perubahan iklim adalah isu lintas sektoral. Pencapaian dalam mengatasi dampak perubahan iklim ini membutuhkan partisipasi semua pemangku kepentingan dengan mengejar kreasi dan kolaborasi multi-pihak. Para anggota di KFLHK bergandengan tangan menguatkan program-programnya yang relevan dengan berkolaborasi untuk menjangkau lebih banyak penerima manfaat dan lebih berdampak”, ujar Dolly Priatna, Direktur Belantara Foundation sekaligus Koordinator KFLHK dalam kata sambutannya. 

Novita Liangga Kumala, Senior Climate Policy Analyst Wildlife Works Indonesia, dalam presentasinya menunjukkan “Ada potensi signifikan dalam penjualan kredit karbon, khususnya dengan model REDD+ (Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang Wildlife Works indonesia kembangkan. Ini melindungi hutan asli dan sekaligus mengurangi emisi CO2. Dari sisi pembeli kredit karbon umumnya meliputi perusahaan-perusahaan yang ingin menetralisir jejak karbon mereka, organisasi yang berfokus pada keberlanjutan, dan individu yang ingin berkontribusi terhadap upaya mitigasi perubahan iklim”. 

Menurut data dari Ecosystem Marketplace 2023, perusahaan penerbangan menjadi pembeli karbon terbesar, dan disusul perusahaan energi. Novita menekankan bagaimana pendekatan yang tepat dalam perdagangan karbon dapat menjadi instrumen efektif dalam mengurangi emisi karbon secara global, sambil membawa manfaat lingkungan dan ekonomi yang berarti.

Wahyu Marjaka, Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional pada Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan bahwa “KLHK memiliki peran strategis dalam implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia, sesuai dengan komitmen nasional terhadap pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC). KLHK bertugas mengatur dan memastikan penyelenggaraan NEK dilakukan sesuai dengan kerangka regulasi yang ditetapkan, meliputi mekanisme perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, dan mekanisme lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.

Regulasi ini diarahkan untuk mendukung pencapaian target penurunan emisi GRK, dengan sektor kehutanan memiliki porsi terbesar dalam kontribusi penurunan tersebut. Selain itu, KLHK bertanggung jawab atas pendaftaran dan pelaporan pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta NEK melalui Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI), yang merupakan platform untuk pengelolaan data dan informasi terkait aksi dan sumber daya perubahan iklim di Indonesia.

Ketua Yayasan Lindungi Hutan, Miftachur ‘Ben’ Robani menjelaskan ”Perhitungan karbon dalam konteks karbon biru melibatkan pengukuran jumlah karbon dioksida (CO2) yang dapat diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir dan laut, seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa gambut. Proses ini memerlukan penilaian akurat terhadap kapasitas penyerapan CO2 ekosistem tersebut, yang kemudian dapat diterjemahkan menjadi kredit karbon. Kredit ini mencerminkan jumlah emisi CO2 yang telah dihindari atau diserap dari atmosfer, sehingga memberikan nilai ekonomi pada upaya pelestarian dan rehabilitasi ekosistem”. 

Dari sisi ekonomi, proyek karbon biru menawarkan potensi ekonomi yang signifikan bagi masyarakat lokal melalui penciptaan pasar untuk kredit karbon. Dengan melestarikan dan memperluas ekosistem pesisir dan laut, masyarakat dapat menghasilkan kredit karbon yang kemudian dijual ke perusahaan atau individu yang ingin menetralisir jejak karbon mereka. Ini menciptakan sumber pendapatan baru dan berkelanjutan bagi masyarakat lokal, sekaligus mendorong praktik pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab. 

Dari perspektif lingkungan, pelestarian, dan perluasan ekosistem pesisir dan laut sebagai bagian dari proyek karbon biru memberikan manfaat yang luas. Ini tidak hanya meningkatkan kapasitas penyerapan CO2, tetapi juga mendukung keanekaragaman hayati, melindungi wilayah pesisir dari erosi, dan meningkatkan kesehatan ekosistem secara keseluruhan. Proyek-proyek ini juga berkontribusi pada upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memerangi perubahan iklim.

Lufaldy Ernanda, sebagai Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, menambahkan “Bursa karbon di Indonesia merupakan inisiatif penting dalam rangka mendukung upaya negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan komitmen global. Bursa karbon di Indonesia membuka peluang besar bagi penguatan ekonomi hijau dan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca”. 

Melalui regulasi yang kuat, sistem perdagangan karbon yang terstruktur, dan inisiatif penguatan pasar, Indonesia berupaya memaksimalkan potensi nilai ekonomi karbon. Ini tidak hanya akan mendukung pencapaian target NDC Indonesia, tapi juga membuka peluang ekonomi baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan bagi pelaku usaha dan masyarakat luas. 

Peningkatan kesadaran dan edukasi masyarakat serta sektor bisnis dan filantropi merupakan prasyarat penting dalam upaya pelestarian ekosistem dan penanggulangan perubahan iklim. Diperlukan kolaborasi yang erat antar-sektor, melibatkan pemerintah, swasta, filantropi, dan masyarakat sipil, guna mewujudkan inisiatif lingkungan yang berkelanjutan. Dukungan kebijakan pemerintah, insentif bagi pelaku usaha, dan investasi berkelanjutan dari sektor bisnis dan filantropi juga menjadi kunci dalam mengurangi emisi serta memperkuat pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Bagikan:

Rekomendasi Berita

PLF CAF imag
Menciptakan Lingkungan Filantropi yang Sehat, Menuju Dampak Berkelanjutan
Salinan-IMG_1912-scaled
Perhimpunan Filantropi Indonesia, Real Impact Advisors, dan The Hepatitis Fund Dorong Kolaborasi untuk Penguatan Kesehatan di Indonesia
Green-Ramadan-1
Ajak Masyarakat Terapkan Gaya Hidup Berkelanjutan, Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi Inisiasi Gerakan Green Ramadan

Berita Terkini

DSC_0221-scaled
Kolaborasi Filantropi untuk Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Berbasis Proyek
IMG_5799-scaled-e1733197753608
Simposium Filantropi untuk Aksi Iklim 2024 Mengakselerasi Transisi Hijau Indonesia melalui Filantropi Strategis
IMG_4682-scaled
Peran Perhimpunan Filantropi Indonesia dalam Meningkatkan Akses Vaksinasi dan Edukasi COVID-19 bagi Kelompok Rentan
Dapatkan berita dan informasi terbaru dari kami

Buat langkah kecil untuk bangkitkan perubahan