Pandemi COVID-19 menyebabkan krisis pada setiap sektor kehidupan, terutama sektor kesehatan, termasuk penyakit non-COVID-19 lainnya yang membutuhkan penanganan. Ada berbagai penyakit atau kelainan yang harus ditangani dengan perawatan ekstra agar tidak terkena paparan virus COVID-19. Tindakan medis yang semula dilakukan dengan standar harus ditambah dengan protokol kesehatan untuk melindungi tenaga kesehatan dan pasien.
Salah satu penyakit atau kelainan yang membutuhkan tindakan operasi adalah sumbing bibir. Sumbing bibir atau sumbing langit-langit adalah keadaan tidak menyatunya sisi kiri dan kanan bibir atau langit-langit sehingga muncul celah di satu sisi atau dua sisi. Penyebabnya bisa banyak faktor, misalnya, genetik, nutrisi, radiasi, maupun obat-obatan. Kelainan ini tidak hanya dialami oleh anak-anak yang baru lahir saja, orang dewasa pun juga karena sejak kecil belum pernah mendapat penanganan.
Lalu, bagaimana operasi sumbing bibir atau sumbing langit-langit saat pandemi? Apakah memungkinkan? Inilah yang menjadi bahan diskusi santai Philanthropy Sharing Session (PSS) daring berjudul “Berbagi untuk Pulihkan Senyum Anak Indonesia” pada Kamis, 26 November 2020. Dalam sesi PSS ini Filantropi Indonesia bersama anggotanya, Smile Train Indonesia, sebuah badan amal yang fokus pada penanganan sumbing bibir di Indonesia, mengajak para peserta untuk melihat apa saja tantangan penanganan sumbing bibir atau langit-langit selama pandemi.
Dr. Denny Irwansyah, SP.BP-RE, MMRS, MH, Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Indonesia (PERAPI), mengatakan bahwa, “Di saat pandemi, tindakan operasi harus disertai dengan protokol kesehatan dengan ketat. Sebagai contoh, biasanya, sebelum pandemi, screening pasien dilakukan dengan Rule of Ten (berat badan, usia, kadar Hemoglobin). Nah, saat pandemi, harus ekstra hati-hati, misal, sebelum tindakan, harus dilakukan PCR swab pada pasien dan tenaga medis yang melaksanakan. Selain itu, jumlah pasien harus dibatasi sehingga menghindari adanya kerumunan. Sebagai pembanding, dulu, saat bakti sosial operasi sumbing bibir, bisa mencapai 50 pasien perhari. Saat ini, cukup 1-2 pasien dalam 1 hari atau diselang-seling. Artinya, tindakan operasi sumbing bibir sangat mungkin dilakukan.”
Isu Sumbing Bibir di Indonesia
Ibu Deasy Larasati, selaku Country Manager Smile Train Indonesia mengatakan sumbing bibir dan sumbing langit-langit ternyata masih menjadi salah satu isu kesehatan di Indonesia. Angka penderita anak-anak dengan celah yang belum diobati di negara-negara berkembang masih tergolong tinggi. Dalam pemaparannya, Ibu Deasy menggambarkan bahwa berdasarkan data mereka, diperkirakan ada sekitar 150 kelahiran sumbing bibir dan sumbing langit-langit di Indonesia setiap bulannya. Sedangkan menurut Smile Train Global, ada 540 kelahiran setiap hari di dunia dengan sumbing bibir dan sumbing langit-langit.
Secara fisik, penderita sumbing bibir dan sumbing langit-langit mengalami kesulitan untuk makan, bernafas, dan berbicara. Namun, stigma sosial dan mitos di masyarakat yang lebih kuat melekat membuat keluarga dengan anak yang mengalami sumbing bibir dan sumbing langit-langit menjadi lebih menderita. Tak jarang, mereka harus hidup terisolasi dan diperlakukan tidak adil oleh masyarakat sekitar, termasuk untuk mendapatkan pekerjaan untuk penghidupan yang layak.
Padahal, kenyataannya, operasi celah untuk sumbing bibir dan sumbing langit-langit tergolong sederhana dan transformasinya tampak langsung terlihat. Selain itu, akses terhadap bantuan, baik itu operasi maupun pendampingan, pada dasarnya cukup mudah. Sebagai gambaran, dalam satu bulan, angka operasinya dapat mencapai 600 pasien. Sayangnya, anggapan di masyarakat bahwa sumbing bibir dan sumbing langit-langit itu masalah tabu lebih mudah menyebar luas daripada informasi terkait penyakit dan akses pengobatannya.
Sejak tahun 2002, Smile Train hadir di Indonesia dan menyediakan operasi celah secara cuma-cuma. Dalam menjalankan programnya, Yayasan Smile Train Indonesia bekerja sama dengan lebih dari 85 mitra di Indonesia, termasuk TNI, Polri, pekerja sosial, LSM lokal, media, pemerintah daerah, dan para relawan. Sebagai badan amal anak internasional, bercita-cita untuk memberikan program komprehensif secara berkelanjutan untuk memberikan kehidupan kepada generasi baru yang lebih layak, khususnya penderita celah bibir dan langit-langit.