Organisasi non-pemerintah (NGO), komunitas, dan organisasi lainnya memainkan peran penting dalam mendorong perubahan dan menjadi jembatan antara masyarakat dan instansi pemerintahan untuk menyuarakan pendapat serta mendesak terjadinya perubahan. Namun, pergerakan mereka tidaklah mudah, menghadapi berbagai kendala terutama dalam hal finansial dan pendanaan yang terbatas, manajemen yang kurang efisien, serta proyek yang sering melampaui anggaran. Masalah keuangan ini sangat mempengaruhi kelangsungan organisasi, dengan lebih dari 50% NGO tidak mampu bertahan karena masalah finansial. Oleh karena itu, sangat penting bagi manajemen dan anggota organisasi untuk memiliki pemahaman keuangan yang baik dan mampu mengelola keuangan sesuai dengan kebutuhan.
Menanggapi tantangan ini, Campaign bersama Perhimpunan Filantropi Indonesia, sebagai lembaga sosial yang berbagi nilai dan prinsip yang sama, menginisiasi Changemakers Gathering dengan topik DO IT for DUIT: Strategi Kelola Keuangan NGO Biar Gak Boncos untuk meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya keberlanjutan finansial bagi NGO, organisasi, dan komunitas. Melalui inisiatif ini, dengan prinsip “For A Better World,” diharapkan peserta dapat berbagi pengetahuan, memperkuat pemahaman, dan membangun sumber daya yang bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat. Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan perubahan positif, meningkatkan manajemen keuangan, mendorong lebih banyak inisiatif kebaikan, dan akhirnya menciptakan dunia yang lebih baik di masa depan. Acara ini dihadiri oleh 43 partisipan yang hadir secara langsung di gedung Anindhaloka, Bintaro, Kecamatan Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta 12330.
Dinda Sonaloka, Program dan Communication Manager Perhimpunan Filantropi Indonesia, menyatakan bahwa kegiatan hari ini yang membahas strategi keuangan dan resiliensi adalah salah satu fokus utama Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) untuk tiga tahun ke depan. Berdasarkan riset dalam Indonesia Filantropi Outlook 2022, tiga sumber pendanaan utama untuk filantropi adalah donasi individu, dana CSR, dan iuran keanggotaan. Dalam konteks ini, perhatian utama adalah bagaimana lembaga dapat mengelola sumber pendanaan tersebut sehingga jika salah satu sumber terhenti, lembaga masih bisa menjalankan inisiatifnya untuk membantu masyarakat.
Noriko Adhyanti, Sponsorship & Partnership Manager Campaign.com, dalam sambutannya mengatakan bahwa acara ini bertujuan untuk membahas strategi keuangan bagi NGO atau yayasan agar dapat mengelola keuangan dengan lebih baik demi menciptakan kondisi keuangan yang lebih berkelanjutan di tengah ketidakstabilan global. Acara ini diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi semua peserta untuk belajar bersama, berbagi pengalaman, dan pengetahuan. Campaign mendukung acara ini dan berharap ini menjadi momen yang bermanfaat untuk berbagi dan memahami lebih dalam, serta membuka peluang kolaborasi di masa depan.
Ahmad Fathul Aziz, Engagement Lead Campaign, menyampaikan bahwa Indonesia telah dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia selama enam tahun berturut-turut, menunjukkan harapan besar untuk bersama-sama mengatasi tantangan. Untuk menjaga keberlanjutan lembaga, kolaborasi menjadi kunci penting, termasuk melalui eksplorasi potensi strategi keuangan yang efektif.
Inisiatif Campaign melalui program flagship collaboration merupakan contoh konkret dari kolaborasi ini. Program ini menggabungkan keahlian berbagai organisasi, seperti dalam kampanye, untuk menyusun proposal menarik bagi sponsor dan donor potensial. Langkah ini diwujudkan melalui aplikasi Campaign #ForABetterWorld, yang menghubungkan organisasi dengan donor potensial dan masyarakat luas. Melalui kerja sama ini, diharapkan dapat tercipta strategi keuangan yang lebih kokoh dan berkelanjutan bagi lembaga-lembaga tersebut, sehingga mereka dapat terus berkontribusi secara positif dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Novi Meyanto, Associate Director Yayasan PLUS, menambahkan bahwa strategi pengelolaan keuangan Yayasan PLUS melibatkan konsep bisnis untuk kebaikan, yang mengarah pada penciptaan produk, jasa, atau inisiatif baru yang keuntungannya diinvestasikan kembali ke yayasan atau bisnis sosial. Yayasan PLUS mengadopsi dua entitas, yaitu perusahaan terbatas (PT) dan yayasan, sebagai strategi untuk mengakses sumber pendanaan yang lebih beragam, mengingat masing-masing entitas memiliki keterbatasan tertentu.
Diversifikasi menjadi kunci dalam strategi ini. Ketergantungan pada satu donor sering menjadi tantangan bagi NGO atau organisasi nirlaba. Misalnya, hampir 50% pendapatan tahunan Yayasan PLUS berasal dari satu donor, yang menimbulkan risiko ketika donor tersebut mengubah agenda atau menarik investasinya. Yayasan PLUS menyadari pentingnya diversifikasi jumlah donor dan mempertimbangkan strategi alternatif, seperti menjual produk atau jasa, untuk mengurangi ketergantungan pada donor.
April Sirait, Sekretaris Yayasan dan Head of CEO Office EcoNusa, menjelaskan bahwa dana hibah atau donor adalah tulang punggung finansial bagi NGO. Sebagian besar, hingga 90%, dari dukungan keuangan organisasi ini berasal dari sumber eksternal. EcoNusa, misalnya, menerima sebagian besar pendanaannya dari Pemerintah Norwegia, sementara sisanya bergantung pada filantropi dari Australia, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa lainnya. Dukungan keuangan dari filantropi luar negeri signifikan karena donatur mendapatkan manfaat berupa pengurangan pajak. Hal ini mendorong mereka untuk memberikan sumbangan, di mana mereka bisa mendapatkan keringanan pajak ketika membantu yayasan nirlaba.
Salah satu strategi EcoNusa adalah inisiatif KOBUMI, yang bekerja sama dengan masyarakat untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, ketahanan pangan, dan sosial sambil menjaga ekosistem hutan, pesisir, dan laut. Tujuan utama inisiatif ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat sambil berkontribusi pada solusi perubahan iklim di Indonesia Timur. Dalam kerangka ini, masyarakat bertanggung jawab atas aktivitas menanam dan memanen, sementara KOBUMI menangani pemasaran dan peningkatan nilai tambah produk. Inisiatif ini telah berjalan selama dua tahun, berfokus pada pengembangan visibilitas untuk sepuluh komoditas potensial di Papua dan Maluku.
Hasilnya, KOBUMI telah berhasil mengekspor 82 ton pala ke Uni Emirat Arab dan Belanda, serta menjual sekitar 1,8 ton udang yang dipanen oleh masyarakat adat di daerah hutan yang konsesi sawitnya dicabut oleh pemerintah. Strategi ini menekankan pentingnya hubungan berkelanjutan dari hulu ke hilir, yang tidak menghasilkan keuntungan instan. EcoNusa menginvestasikan kembali pendapatan dari penjualan komoditas ini ke dalam program-programnya, sehingga dampaknya dapat diperluas tanpa bergantung pada donor.
Para pembicara menyoroti pentingnya kolaborasi dan diversifikasi dalam pengelolaan keuangan organisasi nirlaba. Ahmad Fathul Aziz menekankan perlunya eksplorasi strategi keuangan yang efektif melalui kolaborasi. Novi Meyanto menjelaskan bagaimana Yayasan PLUS menerapkan konsep bisnis untuk kebaikan dengan mendiversifikasi entitas dan pendekatan keuangan. Selain itu, April Sirait dan EcoNusa menekankan pentingnya diversifikasi sumber pendanaan, termasuk dukungan filantropi, dengan memberikan contoh konkret melalui inisiatif KOBUMI, yang menggabungkan pembangunan ekonomi lokal dan konservasi lingkungan. Kolaborasi, diversifikasi, dan keterlibatan komunitas lokal menjadi elemen kunci dalam menciptakan keberlanjutan finansial bagi organisasi nirlaba.