Dari Filantropi ke Transformasi: Bisakah Dukungan Ekonomi Mengakhiri Kemiskinan di Indonesia?

Oleh: Bambang Suherman, Ketua Bidang I Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia

Salah satu agenda utama pada SDGs adalah agenda untuk mencapai “tanpa kemiskinan” pada tahun 2030. Namun, pembicaraan mengenai kemiskinan merupakan sebuah topik yang rumit dan berkaitan dengan sebab akibat yang saling mempengaruhi. Hampir setiap negara, terutama negara ketiga dan berkembang, memiliki persoalan dalam mengatasi kemiskinan. Maka dari itu, solusi untuk persoalan tersebut haruslah solusi yang menyeluruh dan berkelanjutan. 

Di Indonesia sendiri, angka kemiskinan sudah mengalami perbaikan meski tidak signifikan. Pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin adalah sebesar 25,22 juta orang. Angka tersebut berkurang 0,68 juta orang jika dibandingkan dengan bulan Maret 2023 (BPS, 2024). Dalam persentase, jumlah tersebut berkurang sekitar 0,33 persen. Artinya, perjalanan Indonesia untuk mencapai agenda SDGs nomor 1 yaitu “tanpa kemiskinan” masih cukup jauh. Sebab agenda SDGs menetapkan penurunan sekitar 50% pada tahun 2030. Bagaimana caranya?

Budaya Filantropi, Modal Sosial Indonesia yang Mengakar

Sebelum membahas mengenai kontribusi filantropi untuk mendukung pengentasan kemiskinan di Indonesia, sepertinya kita perlu membahas mengenai budaya filantropi terlebih dahulu. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki budaya filantropi yang mengakar. Betapa tidak, konsep gotong royong telah dikenal nenek moyang kita sejak zaman dahulu kala. 

Salah satu bentuk gotong royong yang masih bertahan sampai sekarang adalah konsep Banjar di Bali, dengan konteks yang lebih kental dengan adat. Setiap laki-laki yang dewasa adalah pengurus Banjar dan mereka mengurus semua keputusan yang berhubungan dengan upacara adat, membantu warga yang kesulitan, dan memastikan setiap warga lokal memiliki pekerjaan dan penghasilan. Budaya ini masih melekat, bahkan dengan sekian masifnya modernisasi di Bali. 

Selain dari sisi adat, masyarakat Indonesia pun mendapatkan modal sosial dari konsep filosofi agama. Indonesia adalah negara beragama yang mengakui 5 agama. Di agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, semuanya memiliki konsep filantropi atau lebih mudah dipahami sebagai saling membantu sesama. Salah satu yang paling dikenal mungkin konsep zakat oleh agama Islam yang menekankan mereka yang memiliki pendapatan dalam jumlah tertentu untuk mengeluarkan sebesar 2.5% untuk kaum yang membutuhkan termasuk kaum dhuafa, mualaf, dan tujuh golongan lainnya. 

Dalam agama Kristen dan Katolik, ada konsep persepuluhan yang menekankan sedekah atau kedermawanan yang akan didistribusikan oleh pengurus gereja kepada mereka yang lebih membutuhkan. Uniknya, penyaluran ini tidak memandang agama dan lokasi, sehingga bisa lebih luas dalam penargetan penerima sedekah. 

Dengan adanya modal sosial tersebut, masyarakat Indonesia dari berbagai budaya dan juga agama telah memiliki landasan norma yang kuat mengenai konsep saling berbagi dan saling membantu. Ini membuat kegiatan berbagi bukan hanya dilakukan oleh lapisan masyarakat menengah dan atas yang dianggap memiliki harta yang lebih banyak, tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebab, kedermawanan bukan dianggap sebagai berbagi harta atau uang saja, tetapi menjadi sebuah dorongan dari hati untuk membantu sesama yang dianggap kurang beruntung atau membutuhkan. 

Peraturan Negara untuk Filantropi, Sudahkah Memadai?

Pada tahun 2024, Filantropi Indonesia merilis Indonesia Philanthropy Outlook yang memberikan kajian filantropi di Indonesia dari berbagai sisi. Salah satu topik yang masih hangat dibicarakan sejak tahun 2022 juga adalah mengenai kebijakan yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan filantropi dan juga berkaitan dengan isu-isu yang dihadapi di lapangan. 

Pada Indonesia Philanthropy Outlook tahun 2024, Filantropi Indonesia melakukan survei terhadap 48 lembaga filantropi dan hasilnya sebesar 60% responden menganggap peraturan tentang filantropi di Indonesia masih belum sesuai dan belum memfasilitasi kebutuhan kebijakan. Yang paling dibutuhkan adalah mengenai pengumpulan uang dan barang serta penggalangan dana. Jika sudah ada kebijakan yang mengatur dengan rinci, sebetulnya banyak penyimpangan dana yang bisa dihindari, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga filantropi pun bisa lebih meningkat. Selain itu, ketentuan mengenai lembaga filantropi pun bisa dibuat lebih jelas sehingga lembaga yang dapat beroperasi adalah lembaga yang sudah mematuhi ketentuan peraturan negara. 

Saat ini, dasar pelaksanaan filantropi di Indonesia mengacu pada UU No. 9 Tahun 1961 yang mengatur tentang pengumpulan uang atau barang. Pasal 1 dari undang-undang ini mendefinisikan pengumpulan uang atau barang sebagai upaya memperoleh dana atau barang untuk mendukung pembangunan dalam berbagai bidang seperti kesejahteraan sosial, spiritual, jasmani, dan kebudayaan. Pengertian ini sesuai dengan cakupan umum kegiatan filantropi. Namun, seiring dengan berkembangnya dunia filantropi terutama setelah masa reformasi, undang-undang mengenai hal ini sudah seharusnya mencakup percepatan teknologi terutama dengan adanya penggalangan dana secara daring dan menggunakan platform digital. Ini untuk menghindari salah tafsir mengenai penggalangan dana dan mencegah adanya oknum nakal yang memanfaatkan lemahnya tafsir terhadap undang-undang tersebut. 

Sementara itu, geliat filantropi di Indonesia sendiri sudah semakin pesat. Dari mulai beragamnya cara pengumpulan dana, bentuk lembaga, hingga cara penyalurannya. Filantropi Indonesia sendiri menjadikan hal-hal tersebut dan juga mengenai kebijakan pemerintah sebagai sebuah bahasan hangat. Menggarisbawahi penemuan di Indonesia Philanthropy Outlook 2024, pembuatan kebijakan harus berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kondisi kegiatan filantropi saat ini di Indonesia. 

Dengan begitu, kebijakan bisa mencakup bahasan yang tepat dan terhindar dari salah tafsir. Sebab secara mendasar, kegiatan filantropi berkaitan dengan penggalangan dan pengelolaan dana. Jika tidak diatur sedemikian rupa dan dengan hati-hati, celah untuk kekeliruan bisa saja terbuka lebar. Agar hal tersebut terhindari, diperlukan dukungan pemerintah untuk bisa menerjemahkannya menjadi undang-undang yang inklusif, serta memberi keamanan bagi lembaga filantropi,  masyarakat pemberi donasi, dan masyarakat penerima donasi atau program. 

Bagikan:

Rekomendasi Berita

PSD-Feb-2023
Pengukuran Dampak dan Kapasitas Lembaga Nirlaba Filantropi serta Bisnis
all 9 Maret 1000x600
Urgensi Penegakan Kode Etik Filantropi di Era Digital
simbolisasi-Arsitek86
Memasuki 2021, Yayasan Arsitek86 Peduli Menyambut TK Dharma Wanita Klewor dan TK Dharma Wanita Kedungmulyo Sebagai Mitra

Berita Terkini

Thumbnail Artikel 7
Dari Filantropi ke Transformasi: Bisakah Dukungan Ekonomi Mengakhiri Kemiskinan di Indonesia?
Thumbnail Artikel 6
Persebaran Program Filantropi di Indonesia, di Mana Saja Bisa Ditemukan?
Thumbnail Artikel 8
Pendidikan untuk Semua, Inisiatif Filantropi yang Mengubah Hidup
Dapatkan berita dan informasi terbaru dari kami

Buat langkah kecil untuk bangkitkan perubahan