Jakarta, 26 November 2025 – Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) melalui Klaster Kesehatan mengadakan diskusi terfokus bertema Peran Organisasi Filantropi dalam Transformasi Kesehatan di Indonesia. Kegiatan yang berlangsung di Kantor Yayasan Tahija, Graha Irama Kuningan ini mempertemukan para ahli, anggota klaster, serta pengurus PFI untuk memahami dinamika kebijakan transformasi kesehatan dan memetakan kontribusi strategis sektor filantropi.
Memahami Reformasi Kesehatan dan Dinamika Implementasi UU Kesehatan 2023
Diskusi dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro (UGM dan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia) yang menjelaskan bahwa Indonesia saat ini berada dalam fase history in the making di sektor kesehatan. UU Kesehatan 2023 menjadi kerangka hukum komprehensif yang memperkuat posisi pemerintah dalam mengatur sistem kesehatan sekaligus mendorong percepatan transformasi.
Prof. Laksono menekankan bahwa sebelum pandemi Covid-19, Indonesia belum mengalami reformasi kesehatan yang menyeluruh. Pengalaman pandemi menjadi pemicu percepatan perubahan, terutama dalam memperbaiki sistem layanan, pendanaan, ketahanan kesehatan, dan tata kelola regulasi. Namun, penerapan UU Kesehatan 2023 ini juga memunculkan dinamika karena adanya redistribusi kewenangan yang mempengaruhi berbagai pemangku kepentingan.
Ia menyoroti beberapa isu utama, termasuk kurangnya tenaga kesehatan di daerah terutama desa-desa, tantangan pembiayaan kesehatan, dan mutu layanan yang belum merata. Transformasi kesehatan, menurutnya, hanya bisa berjalan efektif jika melibatkan kolaborasi lintas sektor, termasuk organisasi filantropi.
Menelaah Tantangan dan Peluang Transformasi
Dr. Budi Haryanto (Dewan Pakar Perhimpunan Filantropi Indonesia) dan peserta diskusi lainnya memberikan perspektif mengenai implikasi kebijakan baru terhadap masyarakat dan organisasi non-pemerintah. Peserta mencermati bagaimana perubahan regulasi, digitalisasi layanan, kebutuhan edukasi publik, dan ketimpangan layanan di lapangan memerlukan respons kolaboratif.
Diskusi menggarisbawahi bahwa transformasi kesehatan bukan sekadar perubahan kebijakan, tetapi proses cepat yang menuntut adaptasi seluruh pelaku sistem — mulai dari pembuat kebijakan, penyedia layanan, penerima manfaat, hingga analis kebijakan. Dalam konteks ini, organisasi filantropi memiliki ruang kontribusi yang luas dan signifikan.
Memetakan Peran Strategis Filantropi
Merujuk pada kerangka yang dipaparkan Prof. Laksono, filantropi dapat mengambil tiga peran utama dalam proses transformasi:
- Mendukung implementasi di lapangan
Melalui program-program langsung, pendampingan komunitas, dan penguatan layanan pada kelompok rentan untuk memastikan prinsip no one left behind. - Memperkuat riset dan analisis kebijakan
Filantropi dapat berperan sebagai mitra strategis dalam menyediakan data, analisis, atau kapasitas teknis bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lain. - Memfasilitasi dialog dan kemitraan multipihak
Menciptakan ruang kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat sipil, dan komunitas lokal untuk bersama mengawal efektivitas kebijakan.
Para peserta sepakat bahwa kontribusi filantropi paling penting bukan hanya pada pendanaan, tetapi pada kemampuan menghubungkan aktor, memobilisasi inovasi, dan memperkuat ekosistem kesehatan secara berkelanjutan.
Menentukan Langkah Aksi ke Depan
Sebagai penutup, diskusi menegaskan pentingnya kolaborasi yang lebih kuat antara berbagai pemangku kepentingan untuk mendukung agenda transformasi kesehatan nasional. Masukan dan perspektif yang muncul dari peserta diharapkan dapat memperkaya pemahaman serta mendorong inisiatif bersama sesuai mandat dan kapasitas masing-masing organisasi.







