Ketegangan geopolitik telah menyebabkan terjadinya konflik di banyak wilayah di dunia. Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), Sekitar 258 juta orang di dunia berada dalam kondisi kelaparan yang mendesak, dan saat ini ada 1 dari 5 anak di dunia tinggal di zona konflik atau harus mengungsi dari wilayah tersebut.
Dalam World Humanitarian Summit ada beberapa fokus yang menjadi perhatian global terkait isu kemanusiaan diantaranya terkait pendidikan dan harapan untuk anak-anak yang berada dalam krisis. Peran lembaga filantropi dan bisnis dalam menangani isu kemanusiaan sangat penting dan saling melengkapi. Filantropi dan bisnis dapat menciptakan dampak yang lebih besar dan berkelanjutan dalam menangani isu kemanusiaan di Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, PFI berkolaborasi bersama Asia Justice and Rights (AJAR) Philanthropy Sharing Session ke #40 dengan topik “Pentingnya Penerapan, Penguatan Nilai-Nilai, dan Kolaborasi Kemanusian Untuk Menuju Solusi Inklusif dan Berkelanjutan”. Kegiatan ini dihadiri oleh 51 partisipan yang hadir baik secara offline maupun online via Youtube Live Filantropi Indonesia.
Dinda Sonaloka, Program dan Communication Manager PFI menyampaikan “Perhimpunan Filantropi Indonesia bersama AJAR berinisiatif untuk membentuk klaster baru yaitu klaster filantropi kemanusiaan melihat peran lembaga filantropi dan bisnis dalam menangani isu kemanusiaan sangat penting dan saling melengkapi. Perlu adanya platform yang dapat menaungi sektor pemerintah, filantropi, dan bisnis untuk bersama-sama menangani isu kemanusiaan di Indonesia. Kami mencoba memfasilitasi pembentukan Klaster Filantropi Kemanusiaan untuk menjadi platform kolaborasi antar pemerintah, bisnis, dan organisasi filantropi dalam memperkuat kapasitas, pengetahuan, serta kolaborasi untuk memperkuat ekosistem dan dampak. harapannya melalui forum diskusi ini dapat mengeksplor fokus yang ingin diangkat dalam rangka pembentukan klaster filantropi kemanusiaan kedepan”.
Dalam kata sambutannya Kania mamonto, Deputy Manager AJAR Indonesia mengatakan “AJAR berkomitmen untuk membangun budaya resiliensi akuntabilitas terutama membangun demokrasi di wilayah-wilayah bekas konflik. AJAR bekerja di beberapa negara yang sedang mengalami konflik atau pernah mengalami konflik seperti myanmar. untuk di Indonesia sendiri AJAR fokus bekerja di daerah konflik seperti di Aceh, Papua, Poso, Sulawesi dan daerah konflik lainnya. AJAR tentunya mendukung dan membuka seluas-luasnya ruang diskusi dengan harapan dapat membangun hub kemanusiaan dan hak asasi manusia bisa tercapai.”
Dalam paparannya Samsidar, Komisioner Komnas Perempuan periode 1998-2006 menyampaikan Hak asasi manusia (HAM) memiliki nilai yang sangat penting, yaitu kebebasan dari segala jenis penindasan, hak untuk mendapatkan kemerdekaan, dan adanya persamaan atau kesetaraan yang tidak memandang latar belakang individu. Esensi dari HAM adalah sejauh mana nilai-nilai ini dapat dipenuhi dalam masyarakat. Selain itu, konsep demokrasi manusiawi sudah ada sebelum Perang Dunia I, dan seharusnya nilai-nilai HAM ini dideklarasikan dalam sebuah instrumen yang mengikat secara internasional.
Terkait rencana pembentukan klaster filantropi kemanusiaan, Samsidar menyarankan bahwa Klaster harus memperhatikan interseksionalitas dalam pembicaraan tentang kemanusiaan, dan memperkuat nilai-nilai serta strategi yang mendorong akses terhadap keadilan dan inklusi sosial, sehingga dinamika tersebut saling memperkuat dan terus berkembang. Prosesnya secara bertahap, yang penting nilai-nilai tersebut terus berkembang. Selain fokus pada hak asasi manusia (HAM), penting untuk memperhatikan isu-isu lain seperti disabilitas dan inklusi sosial, karena dinamika ini saling memperkuat satu sama lain.
Dodi Yuniar, Learning, Communications, and Development Manager Asia Justice and Rights (AJAR) menjelaskan pembangunan budaya keadilan merupakan hal yang sangat penting. Hal ini melibatkan pendekatan yang lebih holistik daripada hanya menyelesaikan kasus-kasus kekerasan atau krisis yang muncul, tetapi juga melibatkan pemahaman yang mendalam tentang akar permasalahan, seperti penyebab kekerasan dan krisis tersebut dapat terjadi. yang merupakan upaya preventif yang proaktif serta kesiapan untuk menghadapi krisis ketika terjadi. Tren meningkatnya kekerasan terhadap masyarakat adat dan eksploitasi sumber daya alam sebagai contoh konkret dari tantangan yang dihadapi dalam membangun budaya keadilan. Perlunya pendekatan yang lebih holistik, proaktif, dan pencegahan dalam membangun budaya keadilan, yang memperhatikan akar permasalahan serta kesiapan untuk menghadapi tantangan yang muncul.
Romi Ardiansyah, Vice President Communication, Network and Development Human Initiative juga menjelaskan perlunya kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi tantangan dan membangun kerangka kerja kemanusiaan global yang lebih kokoh, yang mengintegrasikan aspek kemanusiaan, pembangunan, dan hak asasi manusia secara holistik. Saat ini tata kelola kemanusiaan global sering kali terbatas hanya pada respons terhadap bencana, sementara ada kebutuhan untuk memperluas wawasan tersebut dalam sebuah desain sosial kemanusiaan yang lebih besar. mencakup upaya untuk mendorong pengembangan “nexus kemanusiaan” yang mengintegrasikan aspek-aspek kemanusiaan dan pembangunan, serta membahas isu hak asasi manusia.
Dari diskusi yang dilakukan banyak hal paparan penting yang di bahas seperti pentingnya memperkuat nilai-nilai HAM dengan pendekatan holistik dalam membangun budaya keadilan, serta kolaborasi lintas sektor dalam memperluas wawasan dan aksi kemanusiaan secara global. Dengan pendekatan holistik dalam membangun budaya keadilan memungkinkan untuk menangani akar permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan dan pelanggaran HAM.
Ini melibatkan pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas masalah dan pengembangan strategi yang komprehensif untuk penyelesaiannya. serta perlunya kolaborasi lintas sektor tentu akan memperluas jangkauan dan sumber daya yang tersedia untuk aksi kemanusiaan. Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga non-pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, sehingga upaya kemanusiaan dapat menjadi lebih efektif dan efisien dalam merespons kebutuhan yang ada.
Tentunya hal ini perlu di dorong dengan pembentukan klaster baru sebagai platform kolaborasi untuk memfasilitasi kerja sama antara pemerintah, bisnis, dan organisasi filantropi dalam menghadapi tantangan kemanusiaan. Fokus utamanya adalah memperkuat kapasitas, pengetahuan, serta kolaborasi di antara para pemangku kepentingan untuk meningkatkan dampak positif dalam menangani berbagai isu kemanusiaan. Dengan membentuk Klaster Filantropi Kemanusiaan, diharapkan akan tercipta sinergi yang lebih baik antara berbagai sektor, sehingga upaya kemanusiaan dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien.