Di bawah kepemimpinan pemerintah kabupaten, Pendekatan Yurisdiksi muncul sebagai solusi yang menjanjikan. Hal ini menawarkan efisiensi dan efektivitas dalam skala besar dengan menyelaraskan upaya berbagai pihak pemangku kepentingan dalam batas-batas yurisdiksi. Pendekatan ini bertujuan untuk mendamaikan persaingan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup untuk mendorong kolaborasi antar lintas sektoral pemerintah, dunia usaha, filantropi, mitra pembangunan, pemodal, dan masyarakat.
Tantangan serta permasalahan tata kelola seperti sistem politik dan kapasitas pejabat publik, matriks pengukuran yang berbeda untuk menilai kemajuan, struktur pembiayaan yang inovatif, dan kesiapan untuk peningkatan model bisnis merupakan hambatan besar dalam mencapai tujuan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), berpedoman pada prinsip kemitraan, kesetaraan, dan keadilan, memobilisasi anggotanya untuk menunjukkan inisiatif berdampak yang berkontribusi terhadap keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. Inisiatif-inisiatif ini membahas berbagai aksi SDGs, mulai dari kemitraan multipihak hingga pemberdayaan gender dan aksi iklim.
Berdasarkan latar belakang tersebut, PFI bersama Jurisdiction Collective Action Forum menyelenggarakan dialog ke-24 dengan tema ”Pengembangan Kemitraan untuk Meningkatkan Insiatif Sosial, Ekonomi, Lingkungan, dan Pembiayaan di Tingkat Yurisdiksi” pada tanggal 8 Maret 2024 di Wyndham Casablanca Jakarta, Jakarta Selatan. Tujuan dari forum ini untuk menginspirasi para pegiat filantropi dan pelaku usaha untuk membuka solusi dampak terukur di tingkat subnasional dalam mencapai SDGs dan Agenda Iklim, melalui kegiatan aktif keterlibatan dalam Pendekatan Yurisdiksi.
Direktur Eksekutif Perhimpunan Filantropi Indonesia, Gusman Yahya, dalam kata sambutannya menyampaikan bahwa, “Pengelolaan solusi pembangunan secara integratif melalui aksi kolektif untuk menjawab tantangan sosial, ekonomi, lingkungan, dan mencapai yurisdiksi yang berkelanjutan, dapat terlaksana melalui tatakelola kolektif yang efektif. Hal ini juga perlu menggunakan pendekatan kemitraan multipihak yang menjunjung prinsip kesetaraan dan partisipatif antara semua pihak yang berkepentingan di tingkat yurisdiksi, baik unsur pemerintah maupun non pemerintah”.
Pengembagan kemitraan di tingkat yuridiksi sangat relevan untuk filantropi karena mencakup aturan, regulasi, dan hukum yang mengatur berbagai aspek kegiatan filantropi. Filantropi melibatkan pemberian sumbangan untuk tujuan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lainnya, dan lanskap hukum memainkan peran penting dalam memastikan bahwa kegiatan filantropis tersebut berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan tujuan yang diinginkan. Selain itu pengembangan kemitraan di tingkat kabupaten dapat sangat relevan untuk filantropi karena kabupaten merupakan unit pemerintahan yang dekat dengan masyarakat dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan lokal.
Rizal Algamar, Direktur Regional Tropical Forest Alliance (TFA), dalam paparannya menjelaskan bahwa “Merupakan sebuah kebanggan untuk kita semua melihat stakeholder di Indonesia terutama dari sektor pemerintah yang telah berhasil menurunkan tingkat deforestasi. Dengan visi 100 tahun Indonesia kedepan yang akan menjadi global power house dari komoditas agrikultur maupun komoditas ekstraktif. Dengan kelapa sawit yang saat ini produksinya sekitar 57 juta Ton pertahun, ekspektasinya pada 2045 akan menjadi 100 juta ton pertahun. Menariknya saat ini semua negara-negara maju kebijakannya mengarah kepada produk-produk yang akan mereka impor harus bebas dari deforestasi, seperti UK dengan do diligence-nya dan Amerika dengan Forest Actnya”.
Pemerintah mengakui peran dari komunitas filantropi dan CSO berkontribusi besar dalam pembangunan yang berkelanjutan sehingga forum ini merupakan kesempatan untuk kita semua dapat berkolaborasi bersama dengan mitra-mitra korporasi diberbagai yuridiksi. Adanya forum ini membuka peluang berkolaborasi dan bekerja bersama untuk mencapai isu-isu lingkungan, sosial, maupun ekonomi yang dapat terwujud dengan ko-kreasi dan kolaborasi.
Agus Sari, Chief Executive Officer Landscape Indonesia, dalam paparannya menjelaskan bahwa “Konsep mengenai Jurisdictional Approach ini berangkat dari keberlanjutan (sustainibility). Keberlanjutan sebetulnya sebuah konsep dimana alam dan lingkungan menjadi bagian penting dari pembangunan. Berbeda dari banyak orang yang berpikir bahwa pembangunan dan lingkungan itu bertolak belakang dan saling bersaing. Pembangunan berkelanjutan mengkonsolidasi pembangunan dan lingkungan karena pada akhirnya kita tidak bisa membangun tanpa lingkungan yang sehat terutama pembangunan di level sub urban atau di pedesaan”.
Contoh keberhasilan Jurisdictional Approach ini dapat dilihat di Siak Riau. Kabupaten ini cukup sejahtera dengan tata kelola yang bagus dan social capital yang tinggi. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kabupaten tinggi dimana mereka percaya bahwa bupati dan pemerintah daerahnya tidak main-main karenanya di Siak dapat terbit Peraturan Bupati mengenai Jurisdictional Approach dan diperkuat lagi dengan Peraturan Daerah lewat DPRD. Pihak swasta tentunya bekerjasama dimana gabungan antara komersial dengan non komersial, swasta dengan lembaga profit, swasta dengan filantropi, pemerintah dengan filantropi, semua akan menghasilkan hasil yang bisa kita inginkan.