Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP26 yang diselenggarakan pada bulan November 2021 di Glasgow, Skotlandia, menjadi pusat perhatian bagi semua aktor dan pemangku kepentingan dari berbagai sektor dalam hal meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai perubahan iklim. Di Indonesia, dalam hal perubahan iklim, pemerintah telah berkomitmen untuk memasukkan agenda tersebut ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dalam mitigasi dan mengatasi perubahan iklim.
JAKARTA-7 Juni 2022
Pasca COP26, sektor filantropi dianggap perlu untuk mengoptimalkan peran, potensi, dan kontribusinya untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Para aktor filantropis yang diharapkan dapat memaksimalkan kemampuan aksi kolektif sebagai strategi untuk mengintensifkan prinsip-prinsip utama yang berkaitan dengan iklim ke dalam organisasi dan programnya.
Hal ini juga ditegaskan oleh Rachmat Witoelar, Menteri Lingkungan RI periode 2004-2009 dan Representatif Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim dalam webinar bertajuk “Climate Change, Green Recovery, and The Role of Philanthropy Post COP26”, Selasa (7/6). Acara ini terselenggara berkat dukungan dari ClimateWorks Foundation dan Tropical Forest Alliance, dimoderatori Yunita Triwardani Winarto. Webinar yang berjalan selama 2 jam itu menjadi bagian rangkaian sesi dari FIFest 2022, yang dilaksanakan dari 2-30 Juni 2022.
Rachmat mengatakan, COP26 yang berlangsung di Glasgow tahun lalu menghasilkan Glasgow Climate Pact (GCP) yang mempertegas urgensi peningkatan aksi dan dukungan termasuk pendanaan, kapasitas bangunan, dan teknologi transfer untuk meningkatkan kapasitas beradaptasi, memperkuat pertahanan, dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim.
Dalam acara ini, Rachmat melanjutkan, dunia nampak semakin kecil ketika berbicara tentang perubahan iklim. Setidaknya ada tiga hal yang memengaruhi, pertama dampak yang terjadi di mana-mana melampaui batas negara bahkan dunia. Kedua, jangkauan waktu yang sangat panjang (bisa mencapai 50-100 tahun, bahkan lebih). Ketiga, masalah ilmiah.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Agus Sari dari CEO Landscape Indonesia, yang mengingatkan kembali mengenai alarm yang sudah diberikan banyak pihak bahwa manusia perlu beradaptasi dengan perubahan iklim. Agus juga mengatakan, apa yang bisa dilakukan filantropi untuk membentengi manusia adalah dengan membantu mengurangi dampak (khususnya dalam perubahan iklim) dan membantu masyarakat beradaptasi dengan dampak itu.
Negara-negara di Asia Tenggara yang sedang berkembang, menurut Helen Mountford, Presiden dan CEO ClimateWorks Foundation, rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Menurutnya, negara di Asia harus membuat policy making tentang energi terbarukan. Oleh karena itu, pemerintah harus bersinergi melakukan investasi yang lebih besar, dan memastikan masyarakatnya mendapat akses energi yang bersih.
Helen mengatakan, laju pemberian para filantropi untuk mengurangi dampak perubahan iklim masih jauh dari apa yang dibutuhkan. Selama ini bidang yang paling banyak menerima pendanaan filantropi adalah keuangan berkelanjutan, pangan dan pertanian; serta listrik. Padahal di samping itu masih ada tambahan yang diperlukan seperti solusi perubahan iklim yang mengintegrasikan keadilan, kesetaraan rasial, dan hal-hal yang berhubungan dengan emisi sektor transportasi. Dalam menggabungkan sektor publik dan swasta untuk bermitra guna membantu mobilisasi dan mengkoordinir sumber daya teknis maupun finansial dapat membangun dasar yang kuat untuk efisiensi energi terbarukan.
Senada dengan Helen, Agus mengatakan perlu adanya kontribusi bersama antara umum, swasta, pemerintah dan para pemangku kepentingan. Dengan kata lain, kekhawatiran mengenai perubahan iklim dapat memberikan harapan untuk solusi lebih lanjut bagi filantropi untuk melakukan pembiayaan gabungan sebagai upaya terbaik.
Klaus Milke selaku Chair of the Steering Group of Foundations Platform F20 mengatakan bahwa persoalan perubahan iklim memang tidak bisa dilepaskan dari masalah pembiayaan. “Kita perlu lebih banyak pendanaan untuk penyelesaian perubahan iklim. Namun kalau tidak punya dana, tapi punya pengetahuan, bisa ikut kontribusi dengan bertukar pikiran dengan cara melakukan banyak pertemuan, untuk menjawab tantangan ini,” lanjut Klaus.
Dalam kesempatan tersebut, Klaus menyampaikan rasa terima kasihnya kepada filantropi di Indonesia yang telah membantu mengatasi perubahan iklim di Indonesia, salah satunya dengan mementingkan proteksi hutan hujan. Ia juga mengingatkan agar filantropi harus lebih banyak memberikan kontribusi dan melakukan aksi gotong royong untuk menyelamatkan planet bumi.*
Tentang FIFest 2022
FIFest 2022 atau Indonesia Philanthropy Festival adalah acara dua tahunan yang berfungsi sebagai
platform bagi para pemangku kepentingan filantropi untuk membahas dan berbagi isu-isu utama,
inisiatif, inovasi, kebijakan, dan praktik terbaik dari keterlibatan filantropi di Indonesia. Melanjutkan
kesuksesan dua FIFest sebelumnya di tahun 2016 dan 2018, acara tahun ini diselenggarakan secara
virtual selama sebulan dari tanggal 2- 30 Juni 2022. Tema acara tahun ini adalah ‘Philanthropy Hub: Memperkuat Ekosistem Filantropi untuk Mempercepat Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs)’, yang bertujuan untuk menguraikan peluang, strategi, dan prioritas dalam
mengembangkan ekosistem filantropi Indonesia yang akan membantu mempercepat pencapaian
SDGs.
FIFest 2022 telah menampilkan forum diskusi tentang berbagai topik, publikasi baru, termasuk
peluncuran Indonesia Philanthropy Outlook 2022, dan inisiatif yang inovatif oleh organisasi filantropi yang mendukung pencapaian TPB/SDGs, baik di tingkat nasional maupun internasional.