Juli 5, 2019
[Conservancy Talk 1] Memulai Konservasi Lingkungan dari Perkotaan
“Lingkungan yang layak dapat menjadi kunci kebahagiaan bagi masyakat kota. Sementara itu ketersediaan sumber daya alam menjadi faktor penting apakah suatu kota akan hancur atau bertahan” ungkap Usi Sally, Learning and Development Manager The Nature and Conservancy (TNC) dalam kegiatan Conservancy Talk 1 pada Rabu, 19 Juni 2019.
Conservancy Talk merupakan acara rutin yang dilakukan setiap bulan oleh Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi. Upaya konservasi di daerah perkotaan atau urban menjadi tema yang diangkat dalam pertemuan ini. Masih banyak masyarakata yang beranggapan bahwa kegiatan konservasi hanya dilakukan di hutan, laut atau wilayah terpenci. Nyatanya, upaya konservasi dapat dimulai dari lingkunga terdekat kita termasuk perkotaan.
Konservasi perkotaan menjadi penting. Di dunia ini, total keseluruhan dari wilayah kota hanya 3 persen dari seluruj wilayaj dunia. Meski demikian, 60 – 80 persen energi untuk konsumsi dihabiskan oleh penduduk kota, serta 75 persen penghasil karbon emisi dihasilkan oleh perkotaan. Mayoritas lokasi kota ada di pesisir. Hal ini menjadi salah satu penyebab Indonesia menjadi pembuang sampah plastik terbesar ke-2 di dunia. Diperkirakan pada tahun 2030 akan ada 5 M orang yang hidup di kota. Bisa dibayangkan berapa banyak sampah yang akan meningkat di kota pada tahun – tahun mendatang.
Dalam sejarahnya, awal pendirian suatu kota terlebih dahulu harus melihat natural sistem atau worlds infrastructures baru kemudian merencanakan pembangunan infrastrukturnya. Secara global perkembangan perkotaan akan mengurani natural habitat. Pada tahun 1992 – 2000, diperkirakan area telah ada 190.000 km2 area hijau yang hilang. Menariknya setiap tahun area yang dilindungi di dalam perkotaan semakin luas. Seperti, Hutan Mangrove di PIK yang merupakan hutan terakhir untuk coastal habitat reduce.
TNC menawarkan beberapa solusi untuk menyeimbangkan antara people and nature yaitu undertand needs of people and nature, improve conditions for human well – being, and build cross – sector coalitions. Dapat pula mengambil contoh A Great Green City is Resilient dari beberapa negara seperti planning for green (Melbourene), water security (Sao Paolo), coastal strom resilent, (New York), sponge city (Shenzhen – China), MERA (Jakarta, Semarang, Riau). A Great Green City is Equitable menerapkan prinsip kesetaraan untuk semuanya, semua orang yg tinggal di perkotaan harus memiliki tingkat kesehatan yang sama.
Hal senada juga diungkapkan oleh M. Syarief dari Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) yang tidak hanya memiliki program konservasi untuk ekosistem hutan, pesisir, dan pulau – pulau kecil tapi juga kota besar. Salah satu programnya bernama Bird Watching (BW) di Pantai Indah Kapuk (PIK), yang dikhusukan untuk rentang usia 16 – 35 tahun. Program ini muncul ketika tahun 2015, Kehati melaksanakan pendataan burung di Jakarta, ada 164 jenis burung di Jakarta. Meski demikian sejak 1996 sudah ada 96 jenis burung yang sudah menghilang. Burung ini akan hidup di habitat yang hijau dan makanannya terjaga.
Ruang terbuka hijau di Jakarta sangat jauh dari kata proposional. Menurut UU, sebuah kota harus memiliki 30 persen wilayah hijau. Ada 6 kota yg mulai mengejar untuk memenuhi aturan itu seperti Surabaya dan Medan. Sementara Jakarta masih jauh dari standar itu. Tahun ini di Jakarta akan ada 53 Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang akan dibuka. Sekarang ini Jakarta berda di peringkat 54 dari 60 kota di Asia yang memiliki masalah dengan ruang terbuka hijau. Ada tiga alasan mengapa Kehati melakukan BW, yaitu BW bisa dilakukan dengan naked eye, Indonesia menjadi jalur perlintasan bagi migrasi burung, dan tujuan untuk menyediakan sumber informasi dan inspirasi pusat data ada di daerah2 perkotaan.
Perubahan utama yang diharapkan dari program konservasi lingkungan di perkotaan adalah perubahan maindset masyarakat. Bahwa Tuhan menciptakan alam ini tdk hanya manusia tapi juga ekosistem. Dengan demikian maka aka nada kesadaran untuk mencintai alam ini.